Sabtu, 07 Maret 2009

supervisi pendidikan

BAB V
SUPERVISI PENDIDIKAN
Perlu ditegakkan asumsi pentingnya in-service education yaitu 1). Semua personel sekolah memerlukan in-service education sepanjang kariernya, 2). Perkembangan praktek lapangan pendidikan meminta pertimbangan waktu dan hasil yang sistematis yang selalu memerlukan pengembangan staf, 3). in-service education mempunyai dampak meningkatkan kualitas program sekolah dan profesionalitas personel, 4). Perlunya motivasi belajar dimana mereka percaya ada kontrol dalam belajarnya, 5). Educator berbeda-beda dalam kompetensi profesional, kesiapan, dan pendekatan, 6. Pertumbuhan profesional perorangan maupun kelompok memerlukan kesepakatan norma, 7). Organisasi yang sehat memerlukan masukan faktor iklim sosial, kepercayaan, komunikasi terbuka, dan dorongan sejawat mengembangkan program profesional, 8). Lembaga sekolah sebagai unit belajar bertanggungjawab menyediakan sumber dan kebutuhan latihan staf sekolah, 9). Kepala sekolah secara kreatif dan inovatif mengadopsi model pengembangan staf yang baru untuk program sekolah secara kontinu, dan 10). In-service education adalah program yang dilaksanakan berdasarkan penelitian, teori, dan praktek pendidikan yang baik.
Tugas supervisor memimpin guru adalah: Menstimulir guru-guru agar mempunyai keinginan menyelesaikan problema pengajaran dan mengembangkan kurikulum. Mengidentifikasi kebutuhan guru sebagai bahan in-service dengan survey berdasarkan permintaan dan observasi. Merencanakan langkah-langkah pelaksanaan dan mengevaluasi in-service program, dengan mengembangkan rencana pengajaran untuk pengembangan staf membuat komponen-komponen pengetahuan, dan fasilitas yang digunakan. Kemudian mencatat partisipasi guru-guru dan sukses keberhasilan in-service.
Adapun kelemahan in-service education dan kesulitan untuk melaksanakannya adalah dikarenakan kurang persetujuan dan tidak pastinya ruang lingkup dan dasar in-service education. Kesulitan-kesulitan yang dapat dicatat antara lain adalah: 1). Tidak disetujuinya bahwa teori dan tugas in-service education sesuatu yang efektif dan merupakan kebutuhan, 2). Tidak disetujuinya bahwa macam-macam in-service education adalah baik, dan 3). Tidak pastinya tujuan dan daya dorong in-service education, karena dianggap tidak pasti dapat membantu guru-guru dan kurang fokus.
Untuk mengatasi kesulitan dan kelemahan tersebut disarankan kepada setiap instruktur harus mementingkan dan mengkonsentrasikan pada metodologi. Para pengembang kurikulum dan guru harus berlatih merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program. Masyarakat pendidikan harus berusaha memfokuskan latihan ketrampilan human relation. Mata pelajaran in-service education harus difokuskan sesuai dengan tujuan. Dibutuhkan materi yang komprehensif untuk mengatasi ketidak pastian guru-guru merespon in-service education, dan guru mendapat motivasi serta berkeinginan kuat untuk berpartisipasi.
Oliva (1984) mengemukakan ciri-ciri program in-service education yang efektif adalah disain program in-service education secara integratif memberikan dorongan organisasi menjalankan fungsinya. Program in-service education direncanakan secara komprehensif antara sekolah dan lembaga (guru, administrator, supervisor, staf non guru, dan siswa) secara kolaboratif berdasarkan kebutuhan partisipan yang layak diterima. Aktifitas in-service education senantiasa dievaluasi sepanjang waktu disesuaikan dengan dasar pilosofi dan pendekatan yang efektif.
Dalam pelaksanaan in-service education diperlukan kontrol agar semua program terarah untuk mencapai tujuan, adapun yang berhak mengontrol aktifitas in-service education adalah sekolah, direktur atau pimpinan kantor pusat pengembangan, pusat pendidikan guru, dan departemen pendidikan.

5. Pre Service

Faktor tenaga kependidikan harus menjadi perhatian utama untuk menjalin terwujudnya gagasan menjadi suatu realitas. Tenaga pendidikan disiapkan melalui pre service teacher education sebagai lembaga lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dengan strategi pelaksanaan dan pengembangan yang ditangani oleh perguruan tinggi (FKIP, FIP, STKIP, dan Tarbiyah) yang menghasilkan tenaga kependidikan dan guru. Kemampuan LPTK menangani program dan melakukan inovasi dengan menanamkan pemahaman yang mendalam tentang kurikulum pada calon guru dengan melakukan evaluasi pada tiap periode yang telah ditentukan untuk menjamin kesinambungan pengembangan staf.
Loretta dan Stein (1974) dalam Nurtain (1989) mengemukakan kategori pendidikan profesional adalah: Pre service teacher education adalah: 1). Suatu studi yang diwajibkan untuk menjadi guru, yang secara historis terbentuk dari sejumlah mata pelajaran yang diambil pada perguruan tinggi dengan memberikan pengalaman lapangan supervisi yang didisain untuk menerima tamatan SLTA memasuki profesi mengajar, 2). Penataran guru untuk memenuhi kebutuhan pejabat (employer) dan pegawai (employee) dalam daerah tertentu, 3). Continuing education suatu program pengajaran berkelanjutan yang ditentukan secara individual atau mata pelajaran yang dipilih untuk memenuhi minat atau kebutuhan menuju pencapaian tujuan spesifik atau gelar, 4). Pengembangan staf (staff development) suatu program pengalaman yang didisain untuk memperbaiki kedudukan seluruh anggota staf baik secara pribadi maupun kelompok.

6. Supervisi dan Profesionalisasi Jabatan Guru

Supervisi dapat dipandang sebagai suatu seni kerja sama dengan sekelompok orang agar memperoleh hasil yang sebesar-besarnya. Seni disini menuntut kemampuan untuk mempraktekkan prinsip-prinsip hubungan antar manusia (human relation) yang baik.Dalam menerapkan hubungan antar manusia tidak ada ukuran yang pasti menyakinkan, karena setiap manusia memiliki pribadi yang unik. Oleh karena itu kepribadian merupakan suatu pertimbangan bagi supervisor dalam membentuk kerjasama yang yang berhasil.
Sekolah berperan sebagai lembaga yang memproses lulusan untuk bidang–bidang pekerjaan dalam kehidupan masyarakat secara luas . peran yang diberikan kepada sekolah memuat aspek-aspek tanggung jawab yang tinggi, oleh karena itu sekolah harus dilaksanakan oleh tenaga-tenaga profesional persyaratan komptensi sesuai bidang tugasnya dalam pendidikan dan pengajaran . Ben M. Haris (1985) bekerja secara sistematis dalam pengajaran selama belajar siswa dengan memberikan konsultasi individual secara teratur, dan menjelaskan pelajaran dengan mengatisipasi hasilnya agar siswa tetap aktif dalam kegiatan yang ditugaskan. Pengajaran dilaksanakan untuk membantu siswa dalam menjelaskan konsep-konsep yang keliru, menuntun mereka menggunakan sumber-sumber informasi, dan menantang mererka melakukan belajar mandiri diluar tugas dari buku teks. Terhadap siswa yang kurang berminat atau menujukkan frustasi supervisor dapat memberikan petunjuk pada guru untuk mengunakan sejumlah tehnik dengan memberikan reinforcement positif dengan menghindari hal-hal yang negatif, memilih kata-kata yang dapat menimbulkan perasaan gembira sebagai upaya mendorong usaha siswa dan mencegah kegagalan.
Spesialisasi dan profesionalisasi dalam pengajaran untuk mengembangkan kompetensi sejalan dengan sepuluh kemampuan dasar guru yaitu :1.Menguasai landasan-landasan pendidikan, 2. Menguasai bahan pelajaran, 3. Kemampuan mengelola program belajar mengajar, 4. Kemampun mengelola kelas, 5. Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar, 6. Menilai hasil belajar siswa, 7. Kemampuan mengenal dan menterjemahkan kurikulum, 8. Mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyulukan, 9. Memahami prinsip-prinsip dan hasil-hasil penelitian untuk keperluan pengajaran, dan 10. Mengenal dan menyelenggarakan administrai pendidikan. Supervisor harus memahami sepenuhnya sepuluh kemampuan dasar guru tersebut agar pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat sebagai pengguna jasa sekolah.
Tanggung jawab terhadap kompetensi profesional guru untuk mengajar dan mendidik merupakan tuntutan masyarakat terhadap efektifitas pengajaran. Oleh karena itu kepekaan kepala sekolah dan supervisor terhadap profesionalisasi jabatan guru,dengandemikian supervisi pendidikan dituntut memberikan perhatian kepekaan kepala sekolah dan supervisor terhadap profesionalisasi jabatan guru,dengandemikian supervisi pendidikan dituntut memberikan perhatian yang khusus terhadap perbaikan pengajaran sehingga tercipta kualitas pengajaran yang baik.

7. Tugas supervisi pengjaran

Tugas profesional perangkat sekolah mempunyai implikasi pada pengjaran dan juga supervisor. Oleh karena itu tugas supervisor perlu dispesifikasi pada tugas yang berkaitan dengan pengjaran secara keritis. Ben. M. harris (1985) pengmukakan 10 bidang tugas supervisor yaitu :
1. Pengembangan Kurikulum. Mendesain kembali (re design) apa yang diajarkan, siapa yang mengajar, bagaimana polanya, bila diajarkan, dan membimbing pengembangan kurikulum, menetapkan standart, merencanakan unit pelajaran, dan melembagakan mata pelajaran.
2. Pengorganisasikan Pengajaran. Pengelola murid, staf, ruang belajar, dan bahan – bahan yang diperlukan untuk mencapai tujuan secara kordinatif dilaksanakan dengan efisien dan efektif.
3. Pengadaan Staf. Menyedikan staf pengjaran dengan jumlah yang cukup sesuaikopetensi bidang pengajaran dan melakukan pembinaan secara terus – menerus.
4. Penyediaan Fasilitas. Mendesign perlengkapan dan fasilitas untuk kepentingan pengajaran dan memilih fasilitas sesuai keperluan pengajaran.
5. Penyediaan Bahan – Bahan. Mamilih dan mendisign bahan – bahan yang digunakan dan diimplementasikan untuk pengajaran.
6. Penyusunan Penataran Pendidikan. Merencanakan dan mengimplementasikan pengalaman – pengalaman belajar untuk memperbaiki kemampuan staf pengajar dalam menumbuhkan pengajar.
7. Pemberian Orientasi Anggota – Anggota Staf . memberi informasi pada staf pengajar atas bahan dan fasilitas yang ada untuk melakukan tanggung jawab pengajaran.
8. Pelayanan Murid. Secara kodrinatif memberikan pelanyanan yang optimum dan hati- hati terhadap murid untuk mengembangkan pertumbuhan belajar.
9. Hubungan Masyarakat. Memberikan dan menerima informasi pada masyarakat untuk meningkatkan pengejaran lebih optimum.
10. Penilaian Pengajaran melakukan penilaian terhadap perencanaan pengajaran, implementasi pengajaran, menganalisis dan menginterpretasikan data, mengambil keputusan, dan melakukan penilaian hasil belajar murid, unyuk memperbaiki pengajaran.
Fungsi dan spesifakasi supervisi pengajaran memberikan pelayanan supervisi pengajaran untuk menumbuhkan proses belajar mengajar yang baik yang dapat menjaga keseimbangan pelaksanaan tugas staf mengajar.


8. Supervisi Klinis
Sejak tahun 1980-an di Indonesia diperkenalkan istilah supervisi klinis atau sering disebut supervisi pengajaran. Cogan (1980) supervisi klinis dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dirancang secara rasional dan praktis untuk memperbaiki performansi guru di kelas, dengan tujuan untuk mengembangkan profesional guru dan perbaikan pengajaran.
Menurut Snyder dan Anderson (1986), supervisi klinis dapat diartikan sebagai suatu teknologi perbaikan pengajaran, suatu intervensi yang disengajakan dalam proses pengajaran, tujuan yang ingin dicapai, dan memadukan kebutuhan sekolah dan pertumbuhan personal
Supervisi klinis merupakan suatu model supervisi untuk menyelesaikan masalah tertentu yang sudah diketahui sebelumnya. Dengan supervisi klinis diharapkan jurang perilaku nyata dengan perilaku ideal para guru dapat diperkecil. Terutama dalam rangka para guru seringkali menghadapi inovasi – inovasi pendidikan. Jadi supervisi klinis adalah suatu proses bimbingan yang bretujuan untuk membantu pengembangan prfesional guru/calon guru,khususnya dalam penampilan mengajar berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan objektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku tersebut.

9. Karektiristik Supervisi Klinis

1. Perbaikan dalam mengajar mengharuskan guru mempelajari keterampilan intelektual dan bertingkah laku yang spesifik.
2. Fungsi utama supervisor adalah mengajarkan berbagai keterampilan kepada guru atau calon guru yaitu :
a. Keterampilan mengamati dan memahami (mempersepsi) proses pengajaran secara anlitis.
b. Kterampilan menganalisis proses pengajaran secara rasional berdasarkan bukti – bukti pengamatan yang jelas dan tepat.
c. Keterampilan dalam kurikulum, pelaksanaan, serta pencobaannya dan
d. Keterampilan dalam mengajar.
3. Fokus supervisi klinis adalah perbaikan cara mengajar dan bukan mengubah kepribadian guru.
4. Fokus supervisi klinis dalam perencanaan dan analisis merupakan pegangan dalam pembuatan dan pengujian hipotesis mengajar yang didasarkan atas bukti – bukti pengamatan.
5. Fokus supervisi klinis adalah pada masalah mengajar dalam jumlah keterampilan yang tidak terlalu banyak, mempunyai arti vital bagi pendidikan, berada dalam jangkauan intelektual serta dapat diubah bila perlu.
6. Fokus supervisi klinis adalah analisis konstruktif dan memberi penguatan (reinforcement) pada pola–pola atau tingkah laku yang berhasil daripada mencela atau “menghukum” pola–pola tingkah laku yang belum sukses.
7. Fokus supervisi klinis didasarkan atas bukti pengamatan dan bukan atas keputusan/penilaian yang tidak didukung oleh bukti nyata.
8. Siklus dalam merencanakan, mengajar dan menganalisis merupakan suatu kontiunitas dan dibangun atas dasar pengelaman masa lampau.
9. Supervisi klinis merupakan suatu proses memberi dan menerima yang dinamis.Dalam hal ini supervisor dan guru merupakan teman sejawat dalam mencari pengertian bersama yang berhubungan dengan pendidikan.
10. Proses supervisi klinis terutama berpusat pada interaksi verbal mengenai analisis jalannya pengajaran.
11. Tiap guru mempunyai kebebasan maupun tanggung jawab untuk mengemukakan pokok-pokok persoalan, mengajarnya sendiri, dan mengmbangkan gaya mengajarnya.
12. Supervisi mempunyai kebebasan dan tanggung jawab untuk menganalisis maupun mengavaluasi cara supervisinya sendiri dengan cara yang sama seperti ia menganalisis dan mengevaluasi cara mengjar guru.


10. Tujuan Supervisi Klinis

a. Tujuan Umum

Konsep supervisi klinis adalah memberi tekanan pada proses pembentukan dan pengembangan profesional guru dengan maksud memberi respons terhadap pengertian utama serta kebutuhan guru yang berhubungan dengan tugasnya. Pembentukan profesional guru yang bermaksud untuk menunjang pembaharuan pendidikan serta untuk “memerangi “kemerosotan pendidikan terutama harus dimulai dengan cara mengajar guru di kelas. Denganperbaikan dan penyempurnaan cara mengajar guru di kelas diharapkan siswa dapat belajar dengan baik sehingga tujuan pendidikan dan pengajaran dapat tercapai secara maksimal.
Mengajar adalah suatu kegiatan yang dapat dikendalikan (controlable and manageable),dapat diamati (observable) dan terdri dari komponen-komponen keterampilan mengajar yang dapat dilatih secara terbatas (isolated) maka ketiga kegiatan pokok dalam supervisi klinis yaitu pertemuan pendahuluan, observasi mengajar dan pertemuan balikan mengacu pada pelaksanaan kegiatan mengajar tersebut. Jadi tujuan umum supervisi klinis adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan mengajar guru dikelas. Dalam hubungan inilah supervisi klinis merupakan kunci untuk meningkatkan kemampuan profesional guru

b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus supervisi klinis adalah sebagai berikut :

1. Menyedikan bagi guru suatu balikan yang objektif dari kegiatan mereka yang barusaja mereka jalankan. Ini merupakan cermin agar guru dapat melihat apa sebenarnya yang mereka perbuat sementara mengjar, sebab apa yang mereka lakukan mungkin sekali sangat berbeda dengan perkiraan mereka.
2. Mendiaknosis, memecahkan atau membantu memecahkan masalah mengajar.
3. Membantu guru mengembangkan keterampilan dalam menggunakanstrategi-strategi mengajar.
4. Sebagai dasar untuk menilai guru dalam kemajuan pendidikan, promosi jabatan atau pekerjaan mereka.
5. Membantu guru mengembangkan sikap positif terhadak kengembangan diri secara terus menerus dalamkarier dan profesi mereka sacara mandiri.




11. Perhatian Utama dan Kebutuhan Guru
Pada waktu seorang guru mempersiapkan dirinya mengajar, sedang mengajar maupun sesudah mengajar, ada dua hal yang utama yang menjadi perhatian utama maupun kebutuhannya yaitu: Kasadaran dan kepercayaan akan dirinya serta keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan dalam mengajar.
Kesadaran dan kepercayaan diri dalam mengajar ini muncul dalam pertanyaan sebagai berikut: a. Dimanakah saya berada sebagai guru ?, b. Bagaimanakah tanggapan serta perasaan siswa mengenai diri saya ?, c. Apakah siswa dapat mempelajari sesuatu dari apa yang saya ajarkan ?, d. Seberapa besarkah kemampuan saya ?, Apakah siswa menemukan yang sebenarnya dia perlukan didalam belajar?, dan bagaimanakah saya dapat memperbaiki diri saya sebagai guru ?.
Disadari atau tidak, didalam mengajar guru memerlukan keterampilan dasar (generic skills ) tertentu agar dia dapat mengajar lebih dan agar tujuan pelajaran dapat tercapai. Keterampilan-keterampilan dasar tersebut dapat dikelompokkan sbb:

a. Keterampilan menggunakan variasi dalam mengajar menggunakan stimulus, yang terdiri dari memberi penguatan (reinforcement), variasi gaya interaksi dan penggunaan alat pandang dengar/AVA (variability), menjelaskan (explaining), dan membuka dan menutup pelajaran (introductory procedures and closure).
b. Keterampilan melibatkan siswa dalam proses belajar yaitu bertanya dasar dan lanjutan (basic and advanced questioning), memimpin diskusi kelompok kecil (guiding small group discussion), mengajar kelompok kecil (small group teaching), mengajar berdasarakan perbedaan individu (individualized instruction), mengajar melalui pertemuan siswa (discoveri learning), dan membantu mengembangkan kreatifitas siswa (fostering creativity).

desentralisasi pendidikan

BAB IV
DESENTRALISASI PENDIDIKAN
DAN PEMBERDAYAAN SEKOLAH


UU No. 22 tahun 1999 dan telah direvisi dengan undang undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menuntut terselenggaranya desentralisasi pemerintah yang luas, nyata, bertanggungjawab dan otonomi daerah lebih longgar ketimbang waktu-waktu yang lalu. Dahulu selama pemerintahan orde lama dan baru, kewenangan dibagi habis di pusat baru sisanya diberikan kepada daerah. Sehingga daerah pada waktu itu tidak mampu memberdayakan potensinya secara maksimal, sedangkan UU No. 32 tahun 2004 ini membagi kewenangan pemerintah dihabiskan di daerah lebih dulu, kemudian yang bersifat kenegaraan seperti Hankam, luar negeri, moneter, agama dan lainnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Pergeseran tatanan kehidupan politik dan tata pemerintahan dalam sistem desentralisasi berpengaruh kepada berbagai tatanan kehidupan secara keseluruhan. Implikasi desentralisasi yakni pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan kegiatan pembangunan, kebutuhan meningkatkan kapasitas perencanaan dan pelaksanaan unit-unit kerja daerah, kebutuhan dana yang lebih besar bagi daerah untuk dapat melaksanakan fungsinya bidang pembangunan, dan kebutuhan untuk memperkenalkan model pendekatan kewilayahan yang bermula dari bawah dengan mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan.
Desentralisasi pemerintahan salah satu yang diserahkan adalah pendidikan mempunyai makna adanya kewenangan pembuatan keputusan pada hierarki yang paling rendah termasuk sekolah menurut jenjang dan jenisnya sesuai lingkup organisasi. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai realisasi pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan tidak terpusat, secara utuh dan terpadu mulai dari tingkat kebijakan, manajemen, dan operasional dalam berbagai aspek dan dimensi pendidikan baik makro, meso, maupun mikro dengan lingkup kegiatan jenjang, jenis, dan daerah pendidikan.
Kebijakan pada tingkat sekolah desentralisasi dapat mendorong inovasi meningkatkan relevansi dengan kondisi setempat dan menggerakkan partisipasi bagi para personel sekolah, orang tua siswa, dan mitra sekolah mendorong aktifitas sekolah yang lebih dinamis mengikuti irama tantangan global. Dengan demikian nuansa desentralisasi terasa sekali mewarnai dinamika pengelolaan sekolah, tinggal lagi yang menjadi persoalan apakah para pelaku pendidikan terutama di sekolah dan masyarakat mampu memahami konsep desentralisasi yang diterimanya.
Soal mampu atau tidak mampu tentu ukurannya sangat relatif, karena jika dipandang dari tingkat pendidikan yang diperoleh rata-rata pelaku pendidikan berada pada tingkat Diploma atau Sarjana, oleh karena itu kualitas intelektual mereka dipandang mampu menerimanya. Hanya saja dari satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai speed yang berbeda, dan ini akan sangat tergantung dari kordinasi dan kekompakan semua sistem pendukungnya.

I. Desentralisasi Pendidikan

Berbicara mengenai pembangunan sumberdaya manusia (SDM) kata kuncinya adalah “Pendidikan” sebagai infrastrukturnya. Seperti dikemukakan Proffesor M. Surya siapapun tidak akan membantah bahwa keunggulan SDM hanya mungkin diperoleh melalui pendidikan yang diprogramkan secara sistemik, simbiotik, dan sinergik.
Sistemik yaitu hubungan struktural, fungsional dan interaktif dalam satu sistem, sub sistem, maupun supra sistem yang mencakup masukan, proses dan pengeluaran melakukan perubahan secara komplementer dan kesinambungan secara kontekstual dan komprehensif. Sinergik yaitu suatu konsep dimana kreatifitas dan kredibilitas juga konfidensi dan kompetensi saling berpasangan dengan erat untuk mengembangkan diri secara proaktif memadukan inovatif dalam berbagai tindakan yang lebih luas sehingga memperoleh nilai tambah. Sedangkan simbiotik menempatkan keterlibatan diri secara kolaboratif membangun komunikasi, kongruensi, komitmen, kepedulian, kerjasama, dan kompetisi yang sehat dalam suatu jaringan kerja untuk mendapatkan manfaat bersama.
Proffesor M. Surya mengemukakan pendidikan nasional secara substantif memiliki landasan yaitu kebudayaan nasional, pancasila, dan UUD 1945, bertujuan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, dengan sasaran menjangkau segenap peserta didik dari semua jenis kategori umur. Bentuk pelaksanaannya melalui bimbingan, pengajaran, dan pelatihan pada jalur sekolah dan luar sekolah sesuai jenjang dan jenisnya yang ditanggungjawabi bersama oleh pemerintah dan masyarakat yang dikenal selama ini sekolah negeri dan sekolah swasta.
Didorong oleh tuntutan masyarakat akan perubahan politik, amat penting dilakukan reformasi pendidikan dengan desentralisasi manajemen dalam rangka memberdayakan sekolah melalui konsep manajemen berbasis sekolah yang intinya memberikan kewenangan atau pendelegasian kewenangan kepada sekolah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.
Dalam upaya reformasi pendidikan, paradigma birokratis perlu diimbangi dengan pengembangan paradigma pemberdayaan. Standar nasional harus diimbangi dengan pilihan-pilihan yang disesuaikan dengan kondisi daerah, kurikulum nasional harus diimbangi dengan pengembangan kurikulum yang berorientasi kebutuhan lingkungan daerah, monitoring nasional harus diimbangi dengan pengelolaan diri dengan pengendalian lokal, orientasi produksi dimbangi dengan orientasi pelayanan, dan sebagainya. Paradigma pemberdayaan mengubah perilaku yang tadinya menunggu petunjuk menjadi lebih kreatif dan dinamis menelusuri sejumlah peluang peningkatan kualitas pendidikan bagi semua satuan pendidikan.
Desentralisasi pendidikan dilaksanakan untuk menjamin adanya keragaman dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam mencapai kepentingan kesatuan nasional, hal yang mendasar dalam desentralisasi pendidikan adalah mewujudkan paradigma pendidikan yang sesuai dengan tuntutan yang sesungguhnya menjadi kebutuhan masyarakat, tanpa kehilangan makna, jiwa, semangat, dan fundamental pendidikan.
Paradigma tersebut dapat menumbuhkan keyakinan bahwa setiap individu merupakan pribadi yang unik dan tumbuh berdasarkan potensinya masing-masing, dan juga masyarakat memiliki keunikan sendiri. Pada saat yang sama sekolah yang didalamnya terdiri dari individu dan masyarakat yang dengan sendirinya memiliki kekhasannya sendiri pula yang mungkin saja berbeda dengan sekolah lain, meminta spesifikasi pengurusan dan pengelolaan.
Bertolak dari pemikiran tersebut terkandung nilai yang mendasar dari desentralisasi pendidikan yaitu sekolah adalah unit perencanaan, basis manajemen, dan interaksi pendidikan, bukan lagi hanya sekedar pelaksana program-program yang ditentukan dari pemerintah diatasnya, tetapi suatu lembaga pendidikan yang terbuka peluang mengembangkan mekanisme dimana akuntabilitas sekolah tidak hanya pada internal sistem tetapi juga partisipasi eksternal sistem.


2. Standar Mutu Melalui Kebijakan Desentralisasi Pendidikan.

UUSPN No. 20 tahun 2003 mengemukakan pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan nasional harus bersifat terbuka dan memberikan keleluasaan gerak kepada peserta didik. Siswa sebagai peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dengan belajar pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing. Untuk menjaga kualitas kemampuan siswa pemerintah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun oleh masyarakat dalam rangka pembinaan perkembangan satuan pendidikan.
Perubahan sistem dari sentralistik ke desentralisasi tentu banyak pihak akan mengajukan pertanyaan adakah standar mutu pengawasan kemampuan siswa melalui kebijakan desentralisasi pemerintahan terhadap program pendidikan, jawaban dari pertanyaan itu tentu ada, yaitu dengan mengubah sistem sentralistik menjadi desentralisasi manajemen pendidikan dan sekolah, menentukan suatu sistem secara seksama untuk melakukan evaluasi program pendidikan, menetapkan suatu metode yang dapat mengukur standar mutu dengan mendefinisikan gejala-gejala atau indikasi yang menyatakan standar mutu yang disepakati bersama secara institusional. Bagaimanapun sekolah harus melayani berbagai karakteristik siswa baik diperkotaan maupun pedesaan, kalangan minoritas, kalangan masyarakat pinggiran, dan sebagainya.
Penelitian Edmond dikutip oleh Thomas J. Sergiovanni (1987) mengemukakan bahwa standar keefektifan kinerja siswa ada pada tes-tes standar dari kecakapan membaca dan kecakapan matematika menjadi dasar kriteria yang populer untuk menentukan keefektifan sekolah. Namun menentukan standar yang merupakan suatu gagasan konsepsi banyak dimensi memerlukan pengembangan tentang ukuran standar kepuasan siswa, dimana batasannya para siswa disenangkan dengan berbagai pelayanan belajar sebagai produk sekolah yang mereka terima dengan kualitas evaluasi belajar diatas rata-rata daerah setempat.
Sekolah yang tidak berhasil mengajarkan kecakapan-kecakapan dasar kepada para siswanya, akan dianggap tidak berhasil oleh para siswa, orang tua siswa, maupun masyarakat dimana mereka harus memberikan respon. Pengujian memang bukan satu-satunya hasil pendidikan yang dapat dinilai, tetapi kecakapan menulis, kecakapan bahasa lisan, dan pemecahan masalah bagi para siswa adalah sesuatu yang diharapkan orang tua dan masyarakat sebagai bagian yang signifikan dari kurikulum.
Tes-tes standar yang lebih valid dan bisa diterima sebagai tanda mengukur keberhasilan sekolah jelas mempunyai peranan yang signifikan mengawasi kemampuan siswa. Setelah itu sekolah-sekolah merupakan institusi yang didesain untuk meningkatkan pengembangan intelektual dan kompetensi kecakapan dasar para siswanya, desain semacam ini sangat mungkin direalisasikan dalam sistem desentralisasi pendidikan.
Pendidikan yang berhasil diterima di sekolah harus diukur dan ditentukan pada dasar isi standar dan norma-norma nasional dan juga pada sisi dan sasaran-sasaran belajar yang dianggap penting oleh para pejabat sekolah lokal dan orang tua. Standar mutu yang dapat mengawasi kemampuan siswa mesti disusun secara cermat melingkupi norma-norma nasional, sasaran belajar yang dianggap penting oleh para pejabat sekolah lokal dan orang tua. Dalam sistem desentralisasi kebijakannya dapat dirumuskan bersama antara dewan sekolah, sekolah, pejabat lokal pendidikan, dan legislatif.
Sistem pendidikan nasional adalah suatu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Aspek-aspek pendidikan yang diperlukan adalah dengan menempatkan siswa pada klasifikasi yang benar, yaitu siswa yang berkemampuan diatas rata-rata , kemampuan sedang, dan kemampuan ditempatkan dan diurus secara spesifik sesuai kemampuan dan kebutuhannya dengan manajemen yang efektif.
Penempatan untuk semua kategori siswa disediakan oleh sekolah dengan kepemimpinan dan manajemen organisasi yang efektif, menempatkan pelayanan individu para siswa atas dasar keunikannya dan kolektifitas para siswa atas dasar target dan sasaran sekolah. Sergiovanni (1987) mengemukakan manajemen dan kepemimpinan yang baik keduanya adalah diperlukan untuk keberhasilan pendidikan yang diterima disekolah dan bahwa keduanya sendirian adalah tidak cukup.
Manajemen dan kepemimpinan akan menentukan apakah sekolah itu dapat dinyatakan efektif atau sebaliknya. Sekolah yang efektif didefinisikan oleh para ahli adalah sebagai sekolah yang para siswanya berpencapaian dengan baik sebagaimana dibuktikan oleh angka-angka tes pencapaian dalam bidang-bidang kecakapan dasar disekolah mana siswa itu berada.
Penempatan siswa sesuai kategori kemampuannya diukur dari hasil tes yang telah distandarisasi menjadi acuan untuk merumuskan tujuan, kurikulum,, metodologi, tenaga guru, dan daya dukung lainnya merupakan hal yang penting untuk menjadikan semua kategori sekolah diurus dengan efektif. Aspek keefektifan organisasi sekolah dan Kantor Dinas Pendidikan Nasional propinsi maupun kabupaten/kota diperlukan yang menjadi perhatian penting untuk memenuhi standar nasional dalam mengembangkan wawasan berkualitas global.

3. Keunggulan dan Hambatan Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan

Didesak oleh tuntutan kebutuhan pembangunan akan peningkatan kualitas SDM dunia pendidikan Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan baik eksternal maupun internal. Perkembangan global dengan segala konsekwensi maupun karakteristiknya dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya yang meningkatkan daya saing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Globalisasi ditandai adanya ketergantungan antar bangsa di dunia, suasana kompetitif dalam segala bidang, kecenderungan makin homogennya perilaku, artifisialisasi etika, dan sebagainya. Kondisi umum globalisasi merupakan tantangan bagi sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia, oleh karena itu desentralisasi pendidikan akan dihadapkan pada sejumlah keunggulan dan hambatan baik yang bersifat regional, nasional, maupun global.

a. Keunggulan
Keunggulan desentralisasi adalah keterbukaan terhadap partisipasi, keterbukaan terhadap perbedaan, keterbukaan terhadap konflik, keterbukaan terhadap refleksi, dan keterbukaan dalam kesalahan oleh semua pihak baik masyarakat maupun pemerintahan. Dalam hal desentralisasi pendidikan dapat lebih memberdayakan sekolah dan masyarakat untuk mementukan programnya. Program manajemen berbasis sekolah lebih mungkin dilaksanakan, dengan memberikan otonomi kepada sekolah, karena telah memperpendek alur birokrasi yang selama ini menjadi salah satu penghambat kelancaran administrasi sekolah. UU No. 22 tahun 1999 mengatakan desentralisasi sebagai upaya mengakui dan menghormati hak asal usul daerah yang bersifat istimewa dalam hal ini mereka pengembang potensi lokal.
Keunggulan lainnya desentralisasi dapat mencapai efesiensi yang diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumberdaya secara optimal, menumbuhkan dan mengembalikan hak demokrasi pada tingkat institusi lokal, lebih besar peluang meningkatkan kesejahteraan guru, mendorong profesionalisme kepala sekolah dan guru, mendorong guru lebih kreatif melakukan inovasi pengajaran, lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat setempat, menjamin kualitas pelayanan terhadap siswa dan masyarakat, penyederhanaan birokrasi, dan sebagainya dengan demikian terbuka peluang bagi masyarakat ikut serta meningkatkan kualitas kegiatan pendidikan.

b. Hambatan
Ada sejumlah problema sebagai hambatan pelaksanaan desentralisasi pendidikan yaitu perbedaan visi masyarakat lokal terhadap desentralisasi, kesiapan SDM melaksanakan desentralisasi, kerelaan pemerintah pusat memberi wewenang (terkesan setengah hati), waktu sosialisasi yang terlalu singkat. Desentralisasi sarat dengan muatan politik bukan pekerjaan yang mudah untuk dilaksanakan, kurang siapnya daya dukung sumberdaya lokal, dimungkinkan perpindahan KKN kedaerah melahirkan raja-raja baru, kemampuan memproyeksikan kebutuhan publik yang terbatas, pembagian kewenangan antara pemerintah propinsi dan kabupaten kota sebagai daerah otonom yang mampu belum jelas, dan berbagai permasalahan lainnya.
Kendala desentralisasi yang dimungkinkan dalam pendidikan dapat dicatat antara lain flatform desentralisasi pendidikan belum dapat difahami secara utuh oleh birokrasi Pendidikan dan Sekolah, belum ada kesamaan visi terhadap standar pendidikan oleh legislatif dan eksekutif, program pendidikan belum menjadi prioritas, kepala Kantor Pendidikan Nasional lebih menempatkan diri sebagai pejabat birokrat ketimbang sebagai pemimpin, kepala sekolah kurang memiliki ketrampilan untuk mengelola dengan baik, sikap birokratis aparat Kantor Pendidikan Nasional, sikap menunggu petunjuk yang masih membudaya di masyarakat, dan sebagainya.
Desentralisasi manajemen pendidikan adalah suatu sistem manajemen pendidikan memberi ruang gerak yang lebih luas kepada daerah untuk memberdayakan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, sehingga sekolah membuat programnya lebih dinamis sebagai jawaban peemenuhan kualitas kompetensi siswa yang dipersyaratkan dengan standar nasional berwawasan global yang lebih kompetitif. Sehubungan dengan itu antisipasi atas kerasnya persaingan global, memerlukan suatu strategi pembangunan SDM merespon berbagai tantangan yang dilakukan melalui jalur pendidikan, agar kualitasnya tetap terjaga secara berkesinambungan perlu ditentukan standar kompetensi siswa, evalusai terhadap program yang sekolah dilaksanakan, dan menentukan solusi yang tepat atas hasil evaluasi dengan memberdayakan sekolah dalam sistem desentralisasi manajemen pendidikan yang terukur menuju wawasan global.

4. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah

Desentralisasi pendidikan tingkat sekolah adalah diberikannya otonomi pengelolaan sumber daya sekolah, sebagai sarana peningkatan efesiensi, peningkatan mutu, dan pemerataan pendidikan. Otonomi sekolah dilaksanakan dalam konteks manajemen berbasis sekolah (School Based Management) dengan mengikutsertakan masyarakat bertanggungjawab atas kelancaran pengelolaan sekolah.
Manajemen berbasis sekolah diselenggarakan melalui beberapa model, peningkatan peranan guru, peningkatan wawasan pengelolaan pengajaran melalui studi penelitian dan kajian pustaka, dan penyamaan visi dari semua pihak dalam proses perubahan untuk memfokuskan arah baru merealisasikan penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah.
Wahlstetter dan Smyer (1994) efektifitas model penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah memvalidasi paradigma model untuk pengembangannya dengan memberikan kekuasaan sekolah menetapkan keputusan, kebijakan, dan arah pengorganisasian sekolah bertumpu pada kekuatan anggaran, sarana, dan personel pengelolanya. Dalam pengembangan manajemen berbasis sekolah ada lima efektifitas yang perlu dikembangkan yaitu prinsip kepemimpinan yang mantap, harapan yang tinggi dari penampilan siswa, mengutamakan dasar kecakapan, penugasan dan pengawasan yang tepat, dan tingkat evaluasi penampilan siswa.
Keefektifan model manajemen berbasis sekolah dapat diukur dari keserasian dan optimalisasi fungsi tugas semua unsur, penampilan yang profesional, lingkungan dengan perencanaan yang simultan, dan senantiasa memperbaiki sistem pengajaran serta kesamaan dalam pencapaian tujuan sekolah.
Wahlstetter dan Smyer (1994) mengutip pendapat Sizer (1992) mengemukakan esensi pengembangan manajemen berbasis sekolah adalah pembinaan intelektual pemikiran para siswa, tujuan umum dan khusus kaitannya dengan pembinaan ketrampilan siswa dan pengetahuan khusus, hubungan khusus antara siswa dan guru, pandangan siswa dalam menerima berbagai informasi, eksibisi para siswa dari skill dan pengetahuan yang telah diperoleh, sikap yang santun penuh kepercayaan, sifat yang generalis dan spesialis, dan biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan sekolah.
Manajemen berbasis sekolah memperkuat strategi pengorganisasian dengan memperkuat alokasi anggaran, pemberdayaan personel, dan memadukan fungsi organisasi dengan keputusan strategis. Strategi pengetahuan disusun secara sistematis sesuai kecakapan memecahkan masalah kebutuhan sekolah, sedangkan strategi informasi memperkuat ketrampilan untuk memperbaiki berbagai kegiatan staf dan kemampuan organisasi mengembangkan manajemen berbasis sekolah.

5. Konsep Sekolah

Sekolah sebagai organisasi diharapkan dapat memfungsikan seluruh sumberdaya yang ada. Secara umum sekolah terdiri dari sekolah yang dikelola oleh pemerintah disebut sekolah negeri, dan sekolah yang dikelola oleh perorangan, organisasi kemasyarakatan, dan perusahaan disebut sekolah swasta.
Undang-undang nomor 2 tahun 1989 pasal 47 ayat 1 menyebutkan bahwa masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk berperanserta dalam menyelenggarakan pendidikan nasional.
Sekolah swasta mempunyai missi sesuai dengan ciri dari sekolah tersebut, UU No. 20 tahun 2003Pasal 47 Ayat 2 mengemukakan bahwa ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan. Oleh karena itu keefektifan organisasi sekolah pada satuan pendidikan tersebut dipengaruhi oleh missi khusus dari masing-masing sekolah. Misi sekolah merespon berbagai perubahan, dan menggerakkan seluruh potensi sekolah yang ada hingga keefektifan organisasi sekolah menjadi ciri dan missi sekolah tersebut.
Struktur hubungan kerja organisasi disusun berdasarkan tujuan, asas, prinsip, dan program-program yang mendasari missinya. Koontz, Donnel, dan Weihrich (1984) mengemukakan bahwa orang sering tidak bekerjasama karena mereka tidak tahu dengan siapa mereka bekerjasama. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa keefektifan organisasi penting bagi organisasi.

6. Keefektifan Sekolah

Krakower dalam Ewell dan Lisensky (1988) mengatakan bahwa secara umum ada empat pendekatan keefektifan organisasi yaitu: keefektifan dipusatkan pada hasil (goal achievement), yang penekanannya pada spesifikasi prosedur pengembangan organisasi yang konsisten secara aktual terhadap kebutuhan yang dikelola oleh administrator(management processes), yang menggambarkan proses internal dengan mempertegas hubungan antara personel organisasi (organizational climate), dan yang memandang keefektifan adalah keserasian hubungan dilingkungan organisasi maupun diluar berbagai organisasi (environmental adaptation).
Menurut pendapat Cameron dalam Kasim (1993) bahwa ada empat pendekatan keefektifan organisasi, yaitu: model sistem sumberdaya, model proses internal, model sistem terbuka, dan model kepuasan partisipan. Secara ringkas dikemukakannya pula bahwa pendekatan proses internal memusatkan pada proses pengelolaan, pengolahan informasi, dan pembuatan keputusan dalam organisasi.
Jika diteliti dari bermacam-macam pendekatan untuk mengevaluasi keefektifan organisasi sekolah, maka hasilnya tergantung pada konsep dan variabel yang ditetapkan dalam penelitian ini keefektifan organisasi sekolah dilihat dari pendekatan proses sumberdaya (resource) yaitu dengan menilai berfungsinya komponen organisasi ditinjau dari keefektifan manajerial kepala sekolah, performansi guru, dan performansi personil non guru di sekolah.
Tercapainya tujuan organisasi sekolah pada hakekatnya tergantung pada tingkat berfungsinya komponen organisasi. Dalam komponen organisasi sumberdaya manusia memegang peranan penting, oleh karena itu sumberdaya manusia seperti kepala sekolah, guru, dan personil lainnya di sekolah merupakan komponen yang penting dan menentukan keefektifan organisasi sekolah.
Steers (1977) menjelaskan bahwa keefektifan seringkali diartikan kuantitas atau kualitas keluaran (output) barang atau jasa. Misalnya bagi ilmuan bidang reseacrh, keefektifan dijabarkan dengan jumlah paten, penemuan, atau produk baru. Bagi sarjana ilmu sosial keefektifan seringkali ditinjau dari sudut kualitas kehidupan. Sedangkan bagi organisasi keefektifan menunjukkan sejauhmana organisasi melaksanakan seluruh tugas pokoknya untuk mencapai tujuan.
Konsep keefektifan menurut Hoy dan Miskel (1987) cukup kompleks, namun indikator dari keefektifan mencakup hasil (Output) organisasi, moral organisasi, dan keputusan organisasi. Cameron dan Whetten dalam Holdaway dan Johnson (1993) mengemukakan bahwa model dan kriteria keefektifan organisasi sangat beragam sehingga definisi tunggal yang jelas tidak mungkin dan juga tidak diinginkan.
Oleh karena itu keefektifan merupakan suatu konsep yang luas tetapi memiliki arti penting bagi suatu organisasi dihubungkan dengan tingkat keberhasilan sebuah organisasi dalam mencapai tingkat produktivitas yang tinggi. Edmonts dalam Ornstein dan Levine (1989) telah mengidentifikasi keefektifan sekolah sebagai berikut: (1) kepemimpinan yang kuat (strong leadership), (2) iklim hubungan manusia yang teratur (an orderly humane climate), (3) pemantauan terhadap kemajuan siswa (frequent monitoring of student frogress), (4) harapan yang tinggi bagi semua siswa (high expectation and requirements for all student), dan (5) fokus pengajaran harus pada siswa (focus on teaching important skill to all student).
Penelitian yang mendalam tentang karakteristik-karakteristik keefektifan telah dilakukan di Amerika Serikat, diantaranya Croghan (1983) telah melakukan suatu penelitian yang luas tentang kemampuan kepala sekolah di Florida dan menyimpulkan bahwa kepala sekolah yang efektif adalah yang memiliki kompetensi yang mampu menciptakan sekolah yang efektif. Hasil penelitian Lezotte (1987) mengutarakan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini prospek untuk meningkatkan pendidikan menjadi lebih cerah, sejak Amerika melakukan reformasi sekolahnya sebagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu sekolah kesemuanya diperuntukkan pada keefektifan sekolah. Penelitian Edmonds (1979) tentang sekolah yang berhasil di New York menunjukkan bahwa tidak akan pernah dijumpai sekolah yang baik dipimpin oleh “kepala sekolah yang mutunya rendah” sekolah yang baik akan selalu memiliki kepala sekolah yang baik pula.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sekolah yang efektif selalu dipimpin kepala sekolah yang memiliki potensi kepemimpinan instruksional yang kuat dan memiliki kompetensi yang profesional. Keefektifan pemimpin sebagai individu dan kelompok merupakan cerminan keefektifan sekolah. Keefektifan individu tampak pada performansi kerja guru dan personil sekolah, merupakan kunci keefektifan organisasi sekolah. Guru bertugas mengelola proses belajar mengajar, personel lain berfungsi menunjang kegiatan proses belajar mengajar peserta didik. Dengan demikian performansi guru dan personel lainnya mencerminkan keefektifan organisasi sekolah.
Dengan demikian keefektifan organisasi mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang bergantung pada acuan yang dipakai. Bagi sebuah sekolah tertentu keefektifan dapat dilihat dari kualitas pengelolaan dan pencapaian tujuan yang berhubungan dengan kualitas lulusan. Pada sekolah lainnya keefektifan organisasi sekolah dapat dilihat dari proses yaitu proses pendayagunaan seluruh potensi perangkat organisasi baik sumberdaya manusianya maupun sumberdaya material pendukung non manusia. Berdasarkan sifatnya, organisasi cenderung merupakan kesatuan yang kompleks yang berusaha mengalokasikan sumberdaya secara nasional demi tercapainya tujuan.

7. Pemberdayaan Sekolah
Kinerja sistem pendidikan kemungkinan masih banyak mengandung agenda kelemahan ditinjau dari segi visi dan misi yang diharapkan. Rumusan visi pendidikan 2020 menunjukkan bahwa:
1. Seluruh warga negara usia sekolah minimal telah mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun.
2. Mutu para lulusan sistim pendidikan mampu bersaing didunia atau pasar kerja baik nasional maupun global.
3. Muatan kemampuan penguasaan iptek dan ketrampilan para lulusan dapat memberi manfaat sebagai bekal untuk hidup dimasyarakat dan memenuhi kebutuhan dan tuntutan pembangunan dan masyarakat pemakainya.
4. Penyelenggaraan sistim pendidikan dapat dikelola secara lebih efektif dan efisien (Wardiman, 1996).

Ahmadi (1996) dari ribuan proyek penelitian dan informasi hampir 80% berkisar sekitar permasalahan pengembangan kurikulum, kemasan bahan pelajaran, metode dan media pengajaran, pendidikan dan pelatihan guru, dan hal-hal lain yang berkaitan langsung dengan proses belajar mengajar (PBM). Sedangkan permasalahan struktural (manajemen kelembagaan pendidikan serta permasalahan fundasional, teori dan konsep yang melandasi upaya pendidikan) hampir belum mendapat sentuhan dan perhatian yang memadai. Oleh karena itu memang dapat difahami jika dampak dan kontribusinya dari berbagai upaya inovasi yang cenderung bersifat sporadic, piecemical dan incremental itu terhadap peningkatan kinerja sistim pendidikan sulit ditemukan secara significan.
Keberhasilan kinerja sistim pendidikan bukan hanya ditunjang oleh tenaga kependidikan yang disebut guru saja, melainkan juga oleh tenaga kependidikan lainnya. Pengakuan atas pentingnya profesi keguruan sama pentingnya dengan pengakuan terhadap disiplin ilmu manajemen pendidikan yang berdampingan dan saling menunjang dalam mewujudkan tujuan dan fungsi-fungsi pendidikan selain pengajaran.

8. Dukungan Masyarakat

Manajemen merupakan suatu proses dimana sumber-sumber yang semula tidak behubungan satu dengan lainnya, lalu diintegrasikan menjadi suatu sistim menyeluruh untuk mencapai tujuan organisasi.
Ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil pendidikan dengan tuntutan masyarakat, pada masa itu di Amerika Serikat kinerja sekolah dianggap tidak sesuai dengan tuntutan yang diperlukan siswa yaitu tidak mampu memberikan hasil dalam konteks kehidupan ekonomi yang kompetitif, maka pertama kali muncullah konsep manajemen berbasis sekolah sebagai jawabannya. Bertitik tolak dari kondisi tersebut dipandang perlu membangun sistem persekolahan yang mampu memberikan kemampuan dasar (basic skill) bagi siswa.
Chapman, J. (1990) mengemukakan bahwa manajemen berbasis sekolah (School based management) adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk me redesain pengelolaan sekolah bertujuan untuk memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi sekolah memperbaiki kinerja sekolah mencakup pimpinan sekolah, guru, siswa, dan orang tua siswa. Desentralisasi sekolah memindahkan otoritas pengambilan keputusan manajemen kesetiap pemerintahan tingkat lokal (local stakeholders), dengan demikian mereka lebih mandiri dan mampu menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan kondisi tuntutan masyarakatnya.
Manajemen berbasis sekolah di Amerika Serikat oleh Edward E. Lawler (19) menyatakan bahwa ternyata dapat meningkatkan kualitas belajar-mengajar, disebabkan adanya mekanisme yang lebih efektif dan lebih cepat dalam pengambilan keputusan, memberikan dorongan semangat kinerja baru sebagai motivasi berprestasi para kepala sekolah dalam melakukan tugasnya sebagai manajer sekolah.
Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu memperhatikan kajian, penelitian, strategi yang bertujuan agar otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat mempunyai keterlibatan yang tinggi dengan memberikan kerangka dasar meningkatkan mutu. Roger Scott (1994) mengemukakan bahwa manajemen berbasis sekolah memberikan peluang kepada kepala sekolah dan guru menjadi lebih efektif karena adanya partisipasi dan rasa kepemilikan dan keterlibatan yang tinggi dalam membuat keputusan dengan memanfaatkan sumber-eumber daya yang ada untuk mengoptimalkan hasil kerja. Sekolah mempunyai kendali dan akuntabilitas terhadap lingkungannya, pengelola pendidikan tingkat pusat hanya berperan melayani kebutuhan sekolah.
Pada prinsipnya MBS adalah reformasi manajemen sekolah terhadap kewajiban (responsibility), wewenang (authority), dan tanggungjawab (accountability) meningkatkan kinerja sekolah dan yang berkepentingan antara lain yaitu siswa, orang tua siswa, guru, masyarakat, lapangan kerja, dan sebagainya (stakeholders) untuk mengenal perubahan dan memiliki kekuasaan mengoptimalisasi sumber daya. MBS memiliki potensi menciptakan pengelolaan sekolah secara profesional yang didukung oleh faktor informasi, pengetahuan, ketrampilan, dan insentif yang berorientasi pada mutu, efektifitas, efesiensi, dan kemandirian.
Sekolah sebagai lembaga pelayanan jasa pendidikan berupaya meningkatkan mutu pelayanan dan hasil belajar berorientasi pada pemakai baik pada siswa secara internal maupun masyarakat secara eksternal. Karakteristik mutu pendidikan mencakup input, proses, output, cost, proses belajar mengajar, dan pelayanan. MBS menjadi efektif apabila didukung oleh sistem berbagai kekuasaan (power sharing) antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, kantor pendidikan, dan sekolah menjadi suatu manajemen yang utuh di sekolah.
Manajemen sekolah akan efektif jika para pengelola pendidikan mampu melibatkan stakeholders terutama peningkatan peran serta masyarakat dalam menentukan kewenangan, pengadministrasian, dan inovasi kurikulum yang dilakukan oleh masing-masing sekolah. Inovasi kurikulum lebih menekankan pada keadilan (equitas) siswa diatas rata-rata mendapat perlakuan dan penyesuaian kurikulum demikian juga siswa sebaliknya, kemudian pemerataan bagi semua siswa yang didasarkan atas kebutuhan peserta didik dan masyarakat lingkungannya.
Moharman (1993) mengemukakan persyaratan manajemen berbasis sekolah adalah adanya kebutuhan untuk berubah, adanya re desain organisasi pendidikan, dan proses perubahan sebagai proses belajar. MBS berorientasi pada pelibatan aktor sekolah secara lebih luas memperbaiki kinerja sekolah. Secara kontekstual penting memahami proses perubahan dan sekolah beradaptasi terhadap perubahan tersebut.
MBS seringkali mengalami kegagalan disebabkan inovasi dilakukan terpisah dari konteks kurikulum dan pengajaran, mengembangkan sistem pembuatan keputusan berdasarkan tempat dengan menciptakan peran baru bagi pengelola, perbaikan sistem evaluasi belajar, dan stakeholders merasa bingung terhadap keputusan yang diharapkan oleh siswa dan masyarakat.

9. Paradigma Manajemen Berbasis Sekolah
Santoso S Hamijoyo (1999) mengemukakan perlunya desentralisasi pendidikan dengan alasan geografis Indonesia sangat luas, aneka ragam golongan (yaitu sosial budaya, agama, etnik, dan bahasa), jenis pendidikan yang tumbuh sesuai perkembangan IPTEK, aspirasi dan gaya hidup antar wilayah yang berbeda, dan perkembangan sosial politik dan ekonomi yang cepat dan dinamis.
Sekolah tidak dapat berjalan sendiri dalam upaya meningkatkan mutu, efesiensi, pemerataan pendidikan, dan kemandirian sekolah. BPPN Bank Dunia (1999) mengemukakan bahwa kondisi politik atau kebijakan pemerintah dalam hal manajemen organisasi maupun kepemimpinan, proses belajar mengajar, sumber daya manusia, dan administrasi sekolah merupakan sejumlah komponen MBS yang perlu diperhatikan dalam konteks persekolahan di Indonesia.
Fokus manajemen sekolah adalah memfungsikan dan mengoptimalkan kemampuan menyusun rencana sekolah dan rencana anggaran, mengelola sekolah berdasarkan rencana sekolah dan rencana anggaran, dan memfungsikan masyarakat untuk berpartisipasi mengelola sekolah. Kemudian implikasi dari penerapan MBS adalah perlu disediakan penghargaan (reward), dan hukuman (punisment) terhadap sekolah yang berhasil dan gagal melaksanakan tugasnya.
Tujuan rencana sekolah adalah membantu sekolah menjelaskan pengelolaan sekolah sekarang dan masa mendatang, mendorong dan mendukung partisipasi masyarakat, mendorong adanya keputusan-keputusan tingkat sekolah, dan mendorong terciptanya ketentuan dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Komponen perencanaan sekolah mencakup kesiapan sumber daya manusia yang terkait, kualitas dan status sekolah, peraturan maupun kebijakan dan garis besar pedoman pelaksanaannya yang dirumuskan meliputi kerangka nasional dan otonomi sekolah.

10. Strategi Manajemen Berbasis Sekolah

Startegi MBS perlu menetapkan pentahapan penerapannya dengan mempertimbangkan prioritas waktu jangka pendek, menengah, dan panjang. Strategi tersebut mempersiapkan SDM dengan pelatihan dan pengalokasian dana secara langsung kesekolah dengan memperhatikan berbagai aspek seperti partisipasi masyarakat, ketenagaan, kepala sekolah dan guru, anggaran yang mencakup sumber dan peruntukannya, kurikulum, materi dan penilaian, alat dan sarana pendidikan. Implementasi MBS menyesuaikan diri dengan kondisi objektif yang ada di sekolah dan stkeholders.
Strategi MBS memerlukan tahapan yang terkait dengan SDM, sarana dan prasarana, anggaran dan stakeholders. Secara garis besar pentahapan tersebut dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap sosialisasi, tahap uji coba, dan tahap desiminasi. Muchlas Samani (1999) mengemukakan MBS menunjukkan kejelasan karier dan kebijakan yang menjadi wewenang pusat, daerah, dan sekolah. Maka, perlu menyesuaikan diri terhadap perubahan pola hubungan sub-ordinasi sekaligus membawa perubahan sikap dan perilaku baik pimpinan jajaran birokrasi maupun masyarakat, deregulasi aturan, transparansi, dan akuntabilitas.
Sosialisasi sangat penting dengan alasan luasnya wilayah, kecenderungan masyarakat tidak mudah menerima konsep pembaharuan, memerlukan pengetahuan dan ketrampilan baru, dan adaptasi terhadap suasana baru. Oleh karena itu Patrick Whitaks (1991) mengemukakan bahwa pencapaian tujuan perubahan yang efektif diperlukan kejelasan tujuan baik menyangkut proses maupun pengembangan dengan melibatkan lingkungan eksternal. Perorangan, kepala sekolah, guru, pegawai, dan kondisi sekolah itu sendiri yang bertitik tolak pada tujuan, penguasaan ketrampilan, sikap dan konsep diri, kebiasaan, hasil, dan proses. Agen perubahan adalah guru dan kepala sekolah, sedangkan objek perubahan adalah institusi, kurikulum, pembelajaran, dan semacamnya.
Uji coba yang efektif memerlukan persyaratan dasar yaitru akseptibilitas yaitu dapat diterima oleh masyarakat, akuntabilitas yaitu dapat dipertanggungjawabkan, replikabilitas yaitu dapat dilaksanakan ditempat lain, dan sustainabilitas yaitu dapat terus dikembangkan. Proyek uji coba suatu model berhenti setelah uji coba dilakukan adalah pemborosan dana dan waktu, tentu uji coba seperti ini harus dihindari, dan harus dibuat suatu rencana yang rigit terhadap suatu proyek uji coba.
Tahap diseminasi memerlukan pentahapan disebabkan luasnya wilayah, jumlah sekolah yang cukup besar, dan daya variabilitas yang beragam efektifitasnya akan sangat ditentukan oleh anggaran yang cukup memadai, fasilitas, dan dukungan lainnya dari pemerintah terutama bagi daerah dan sekolah yang kurang mampu.

11. Sekolah Berkemampuan Unggul
MBS memiliki hak dan kewenangan mengurus sumber daya secara optimal makanya, sekolah harus memiliki visi dan misi yang jelas dengan orientasi peningkatan mutu sehingga dapat mengerahkan seluruh sumber daya dan sumber dana yang dimiliki untuk meningkatkan mutu secara berkelanjutan. Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam upaya mewujudkan sekolah berkemampuan unggul yaitu konsep perbaikan mutu berkelanjutan, efesiensi manajemen, efesiensi keuangan, akuntabilitas, dan profesionalisme.
Perbaikan mutu berkelanjutan (Continous quality improvement) merupakan suatu formula atau pendekatan yang dapat mengatasi masalah rendahnya mutu pendidikan yang tidak hanya melakukan pendekatan konvensional, tetapi juga dibutuhkan optimalisasi sumber daya dan sumber dana untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien serta kreatif berorientasi peningkatan mutu secara total.
Perubahan dapat dilakukan secara bertahap tetapi dilakukan dengan benar dan hati-hati untuk memperbaiki mutu, dilanjutkan dengan perubahan yang berkesinambungan melibatkan semua komponen sekolah. Pimpinan sekolah harus percaya dan mendelegasikan keputusan sesuai tanggungjawabnya kepada staf, hal ini penting agar staf memiliki percaya diri dan bertanggungjawab mencapai kualitas yang dipersyaratkan. Terminologi manajemen terhadap pendekatan yang mengarah pada peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Budaya dalam arti sikap mental dan kebiasaan yang sudah melekat dalam setiap langkah kegiatan dan hasil kerja, merupakan produk lembaga yang berakar dari sikap mental, komitmen, dedikasi dan loyalitas setiap personal lembaga. Perubahan budaya dan setiap aspek kegiatan organisasi diarahkan pada pencapaian kualitas. Setiap personal organisasi sekolah secara sadar melakukan perubahan sikap, perilaku, dan metoda kerja yang ditandai dengan pemahaman bahwa sesuatu yang dihasilkan merupakan produk yang dapat dibanggakan dan diunggulkan.
Adapun yang mempengaruhi kualitas hasil kerja meliputi perubahan perilaku staf, metoda kerja, dan manajemen kepemimpinan didorong oleh kebutuhan lingkungan kerja yang kondusif, tersedianya perangkat kerja berupa sarana dan fasilitas yang memadai, prosedur kerja yang jelas, dan dorongan berupa pengakuan atas kesuksesan dan prestasi yang diraihnya. Hubungan antara personil yang terlibat dalam kegiatan pendidikan dengan kepala sekolah dan guru menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan bukanlah semata-mata pekerjaan individu, melainkan kerja kolektif (team work) dimana hasil kerja dicapai secara bersama. Oleh karena itu dibutuhkan harmonisasi hubungan interpersonal yang serasi antar individu dalam lingkungan lembaga.
Indikator pencapaian hasil yang bermutu antara lain adalah kesesuaian produk atau hasil kerja dengan kebutuhan yang diinginkan oleh stakeholders, kualitas yang dicapai tidak dapat ditentukan secara sepihak, karena harus ada konfirmasi atau pengakuan bahwa hasil kerja lembaga cocok dengan kebutuhan dan keinginan pemakai. Makanya, lembaga dituntut senantiasa berhubungan dengan stakeholders dengan memahami secara pasti apa yang diharapkan mereka.
Untuk memenuhi apa yang diharapkan stakeholders maka, sekolah harus mampu mengidentifikasi keinginan dan membuat daftar kebutuhan (need assessment) seperti para siswa menginmginkan agar kegiatan belajar dapat memberikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan secara mudah dan menyenangkan dimana sekolah mampu merumuskan mekanisme PBM yang dapat menumbuhkan semangat belajar dan prestasi siswa. Orang tua siswa menginginkan hasil belajar siswa sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, masyarakat menginginkan agar hasil belajar sesuai dengan kebutuhan lapangan dunia kerja, dan guru menginginkan tersedianya fasilitas dan sarana belajar yang diperlukan.
Permasalahan internal sekolah yang dihadapi adalah kemampuan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dengan menyerap kebutuhan dan keinginan para siswa meningkatkan mutu dan prestasi, kemampuan tersebut terletak pada kepemimpinan kepala sekolah, performansi guru, peran kantor pendidikan, dan dukungan masyarakat.
Kepala sekolah dalam memerankan fungsinya meminpin sekolah memiliki tanggungjawab dalam kegiatan pendidikan di sekolah dan melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan. Keberhasilan kepala sekolah dapat diukur dari iklim belajar mengajar yang dilakukan guru dengan mempengaruhi, mengajak, dan mendorong para guru, murid, staf, dan personil lainnya menjalankan tugasnya dengan kreatif dan inovatif.

12. Akuntabilitas
Otonomi pengelolaan penyelenggaraan pendidikan disertai dengan tanggungjawab atau akuntabilitas, yaitu suatu peningkatan dari rasa tanggungjawab untuk memenuhi kepuasan dari pihak lain. McAshan (1983) menyebutkan bahwa akuntabilitas ialah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performannya dalam menyelesaikan tujuan yang menjadi tanggungjawabnya. John Elliot (1981) merinci makna yang terkandung dalam akuntabilitas yaitu cocok atau sesuai (fitting in) dengan peranan yang diharapkan, menjelaskan dan mempertimbangkan kepada orang lain tentang tindakan dan keputusan yang diambil, dan performan yang cocok dan meminta pertimbangan/penjelasan kepada orang lain.
Akuntabilitas membuka peluang untuk melakukan diskusi dan komunikasi sebagai upaya menemukan kesepakatan tentang hal yang terbaik untuk dilaksanakan. Oleh karena itu akuntabilitas membutuhkan aturan, ukuran, dan kriteria sebagai indikator keberhasilan suatu pekerjaan atau perencanaan. Dalam akuntabilitas terkandung rasa puas dari pihak lain, model kontrol, model dialog, dan kriteria ukuran. Rasa puas terjadi apabila kenyataan mampu memenuhi kontrak sebagai hasil dialog sebelumnya, yaitu tepat dengan kriteria yang ditentukan yang tercermin dalam kontrol yang dilakukan.
McAshan (1983) mengungkapkan terjadinya proses akuntabilitas yaitu menentukan tujuan program secara jelas dan menyatakan siapa yang bertanggungjawab, menjabarkan tujuan secara spesifik sehingga dapat diukur, menentukan garis otoritas, menentukan secara spesifik kondisi tempat tanggungjawab, dan melakukan penilaian untuk menentukan akuntabilitas.
Akuntabilitas memiliki prinsip-prinsip yang tidak memberi peluang merubah konsep dan implementasi perencanaan, baik perubahan program, metode kerja, maupun fasilitas. Akuntabilitas mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan, pengulangan, dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol akuntabilitas memberi kepastian pada aspek-aspek penting perencanaan yaitu tujuan atau performan yang ingin dicapai, program atau tugas yang harus dikerjakan mencapai tujuan, cara atau performan pelaksanaan mengerjakan tugas, dana, alat dan metode yang dipakai jelas, lingkungan tempat program dilaksanakan, dan insentif pelaksana sudah ditentukan secara pasti.

13. Faktor Faktor Penentu Kinerja Sekolah
UU No. 22 Tahun 1999 mengisyaratkan bahwa sekolah memiliki kewenangan dalam mengelola dan mengambil keputusan secara mandiri tidak bergantung pada birokrasi sentralistik, sekolah mengatur dan menampung aspirasi kepentingan masyarakat turut serta melakukan kontrol dan membina sekolah. Pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan performansi (kinerja) sekolah mencapai tujuan pendidikan nasional. Faktor-faktor penentu kinerja dan kemampuan sekolah melaksanakan fungsi tugasnya secara maksimal antara lain adalah kurikulum yang fleksibel, proses belajar mengajar (PBM) yang efektif, lingkungan sekolah yang sehat, SDM dan sumber daya lain yang andal, dan standardisasi pengajaran dan evaluasi yang terukur.
Duke L. Daniel (1999) mengutip pendapat Kirt’s dan Glattorn’s mengelompokkan kurikulum pada apa seharusnya diajarkan pada peserta didik, pedoman pengajaran yang disepakati, direfleksikan dan dibentuk oleh sumber daya yang dialokasikan, mencakup isi dimana siswa akan menjalankan tes, dan belajar mengungkap semua perubahan nilai maupun persepsi dan perilaku siswa sebagai hasil yang diajarkan di sekolah. Pedoman perencanaan kurikulum dapat merujuk pada pokok-pokok kebijaksanaan pendidikan tentang tujuan dan misi kurikulum lokal yang jelas, tawaran materi pelajaran, konsistensi kurikulum, dan kurikulum yang responsif. Rancangan kurikulum dalam konteks desentralisasi bertujuan untuk memberi peluang pada peserta didik memperoleh ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan kontribusi pada masyarakat.
Glathorn selanjutnya mengemukakan bahwa terdapat sejumlah tujuan kurikulum yang akan dicapai dalam jangka panjang dari kurikulum yang dirancang berdasarkan kebijakan sekolah yaitu: penguasaan ketrampilan dasar dan proses fundamental, pengembangan intelektual, pendidikan karier dan pendidikan vokasional, pemahaman interpersonal, partisipasi kewarganegaraan, enkulturasi, moral dan karakter etis, keadaan emosional dan fisik, kreativitas dan ekspressi estetika, dan perwujudan diri.
Sekolah dapat menentukan tujuan kurikulum, program sekolah menstandardisasi penyelenggaraan pelajaran, sehingga sejumlah dasar dari tiap disiplin ilmu yang diajarkan dapat diberikan secara berkualitas. Memberi akses yang sama pada semua siswa guna memenuhi kebutuhan belajar, merealisasikan kurikulum yang seimbang dalam berbagai tingkatan kemampuan, memilih pelajaran yang sesuai kebutuhan. Memberikan urutan studi yang tepat pada susunan kurikulum, memastikan bahwa semua siswa dapat memenuhi kompetensi minimum, dan memastikan implementasi program ketrampilan dasar di sekolah untuk memberikan fasilitas kecakapan penilaian acuan patokan dan penilaian acuan norma.
Pelaksanaan dan penjabaran kurikulum hanya mungkin dapat dilakukan oleh guru yang memiliki kemampuan profesional. Peranan guru dalam implementasi kurikulum antara lain adalah menentukan topik apa yang akan diajarkan kepada peserta didik, kepada siapa materi tersebut diajarkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengajarkan materi, dan bagaimana hasil belajar yang dicapai. Implementasi kurikulum dilakukan secara konsisten antara penjabaran dengan implementasi di sekolah.
Penentuan kurikulum muatan lokal dirancang berdasarkan kebutuhan menampung aspirasi masyarakat sebagai stakeholders dengan memperhatikan perubahan-perubahan. Kurikulum muatan lokal ditentukan atas dasar kajian yang mendalam dan didiskusikan kepada pihak-pihak yang kompoten sehingga ada kesepakatan dari instansi terkait, respon terhadap sensor atas materi kurikulum, dan sikap hati-hati untuk tidak hanya menampung aspirasi dari kelompok tertentu. Perlu memperhatikan penentuan kebijakan lokal dengan memiliki substansi pilihan kurikulum, dan kontrol untuk membatasi kreasi dan pertimbangan profesional yang berlebihan dalam analisis kebijakan kurikulum. Keseimbangan kontrol dan fleksibilitas baik terhadap input maupuin output dalam implementasi kurikulum memerlukan dukungan untuk meningkatkan cakupan kurikulum terhadap evaluasi belajar, siswa, guru, manajemen, dan program.
14. Penjadwalan
Dalam menentukan cakupan kurikulum dan mengorganisasikan sekolah dalam pengajaran penjadwalan merupakan variabel kritis. Dalam penentuan kebijakan guru, siswa, dan materi dijadwalkan dengan mempertimbangkan bentuk dan ukuran sekolah, type jadwal yang digunakan dalam komunitas, kebutuhan dan kemauan dari guru dan spesialis, kekuatan dan kelemahan guru, dan pendanaan.
Perlu difahami bahwa jadwal adalah sarana pengalokasian (waktu, ruang, staf, dan sumber daya) untuk memberikan pengajaran, jadwal melambangkan apa yang diyakini penting di sekolah oleh pendidik, menetapkan prioritas sekolah, dan merupakan mengalokasikan waktu pengajaran yang menjadi ekspresi utamanya akademik sekolah. Jadwal adalah alokasi waktu yang berkaitan dengan hasil belajar siswa dipengaruhi faktor: kecerdasan (aptitude) menggunakan waktu secara optimal, kemampuan (ability) untuk mempelajari, ketekunan (perseverance) untuk mencerahkan kegiatan belajar secara aktif, kesempatan (opportunity), dan jumlah waktu untuk belajar dituntut kemampuan kepala sekolah membuat konsep, mengatur, dan menjalankan perencanaan yang matang.
Waktu tunggu adalah memberikan pekerjaan mandiri yang ditugaskan kepada siswa sementara guru terlibat dengan aktifitas lain. Rupley dan Blair mengemukakan hasil penelitiannya bahwa waktu tunggu adalah: perlunya siswa mempertimbangkan manfaat aktifitasnya, siswa harus diberi tujuan dan arahan yang relevan untuk belajar, diberi contoh yang praktis untuk merespon tugasnya, guru perlu memantau waktu tunggu siswa dan memberikan umpan balik yang diperlukan, siswa harus menyelesaikan aktifitas dalam berbagai jenis kelompok besar dan kecil, guru harus menetapkan prosedur untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dengan tugasnya, dan tugas waktu tunggu harus menguatkan ketrampilan membaca siswa yang diajarkan sebelumnya.
Penelitian tentang pengelompokan kemampuan dan penjadwalan menunjukkan bahwa pengelompokan homogen mempunyai efek positif secara akademis dan terbatas pada kasus yang spesifik, anak yang termasuk kelompok kemampuan rendah merasa harga dirinya turun, kurang mendapat perhatian guru, pengelompokan kemampuan tidak meningkatkan belajar siswa keseluruhan tetapi merusak konsep pribadi siswa. Slavin dkk mengemukakan hasil penelitiannya tentang elemen-elemen pengelompokan kemampuan yang efektif menunjukkan bahwa heterogenitas kelas harus dikelompokkan atas dasar kemampuan siswa sesuai mata pelajaran, berdasarkan ketrampilan belajar siswa bukan pada IQ, atas dasar assessmen ulang penempatan yang luwes untuk memudahkan penugasan ulang, guru dapat membedakan secara benar tingkat kemampuan siswa dan mengukur pelajaran guna menyelaraskan tingkat kesiapan dan taraf belajar siswa, dan jumlah kelompok kelas harus kecil untuk memudahkan guru memantaunya.
Hasil penelitian mengemukakan ukuran kelas dan prestasi dalam penjadwalan yaitu hubungan ukuran kelas dengan prestasi belajar siswa adalah kompleks, dampak ukuran kelas terhadap prerstasi siswa untuk semua tingkatan adalah kontradiktif dan inklusif, tidak mendukung ukuran kelas yang optimum secara terpisah dari faktor-faktor lain, tidak mendukung ukuran kelas yang kecil dengan hasil belajar yang baik, ukuran kelas kecil adalah efektif untuk mata pelajaran membaca dan matematika untuk tingkat dasar, metoda dan prosedur pengajaran yang baik untuk kelas kecil bermanfaat bagi siswa, moral guru secara siknifikan lebih tinggi pada kelas kecil, dan perhatian guru terhadap individu lebih banyak. Hal-hal yang mempengaruhi penjadwalan sekolah adalah masa tunggu, pengelompokan kemampuan, dan program-program tambahan.
Masalah jadwal sekolah berkaitan dengan masalah tunggu, pengelompokan, ukuran kelas, dan program-program tambahan. Penjadwalan blok paralel dikategorikan pada blok-blok besar dari waktu yang tidak terinterupsi dikordinasikan oleh administrator dalam mata pelajaran seperti matematika, membaca, dan program-program lainnya secara konsisten. Pengajaran kelompok besar diberikan pada pusat pengembangan, dan guru dapat bekerja dalam kelompok kecil seperti dalam mata pelajaran matematika dan membaca. Jadwal pelayanan sepanjang waktu dan alokasi layanan pengajaran maupun aktifitas pengembangan, guru bekerja dengan kelompok dan siswa mengikuti pelajaran dipusat pengembangan atau layanan pendukung. Administraor mengkordinasikan program pengajaran mengacu pada pertimbangan-pertimbangan penjadwalan lain.
Penjadwalan blok paralel mengenai waktu tunggu, pengelompokan kemampuan, ukuran kelas, program tambahan, tujuannya menyediakan fokus akademik membentuk jadwal program-program pengajaran spesifik, memberikan otoritas, membuat keputusan dan tanggungjawab guru menyangkut penempatan murid dan syarat-syarat kelompoknya, mengkordinasikan program, mencegah fragmentasi, memperkuat program pengajaran, secara selektif mengurangi program tambahan, meningkatkan jumlah waktu melaksanakan tugas oleh siswa, mengawasi masa tunggu dan meningkatkan disiplin, memastikan kesetaraan waktu pengajaran bagi tiap kelompok pengajar, dan memberikan beban sesuai kebutuhan pusat pengembangan dan bagi anak.
Faktor yang terkait dengan pengajaran adalah bakat, kemampuan, kualitas pengajaran, kesempatan belajar, daya tahan belajar, jumlah waktu yang tersedia untuk belajar yang berperan penting untuk kontrol guba melakukan kebijakan rancangan jadwal sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelompokan kemampuan untuk pelajaran spesifik seperti membaca dan matematika bisa efektif meningkatkan hasil belajar siswa tanpa berdampak menurunkan harga diri siswa.
Banyak guru percaya bahwa belajar pada kelompok kecil adalah efektif daripada kelompok besar. Faktor-faktor yang menentukan rasio guru murid adalah bakat khusus guru, gaya mengajar guru, tujuan pelajaran, materi yang akan diajarkan, umur dan karakteristik siswa, karakteristk belajar, dan kebutuhan-kebutuhan siswa. Jadwal sekolah disusun untuk membantu guru menggunakan waktunya secara produktif, tetapi jadwal bukanlah jaminan pengajaran berfungsi secara produktif.
Guru yakin dan bertanggungjawab atas kemajuan akademis siswa, siswa lebih banyak belajar diluar bimbingan guru secara mandiri, oleh karena itu jadwal harus luwes untuk guru dan siswa. Pelayanan tambahan harus difokuskan pada penetapan siswa dalam program reguler yang dijadwalkan berdasarkan kepentingan pengajaran dikelas.

pengelolaan sekolah

PENGELOLAAN SEKOLAH


1. Pengorganisasian Sekolah

Prinsip dan problem pengorganisasian sekolah bagi administrator menjadi penting oleh Gorton, Richart (1976) mengemukakan alasannya adalah adanya situasi baru atau perubahan, untuk merevisi organisasi yang telah ada, dan untuk merekomendasikan usulan rancangan organisasi. Adapun tujuan pengorganisasian adalah untuk mempermudah pencapaian tujuan sekolah dan proses belajar mengajar.
Unsur-unsur yang diorganisir oleh administrator adalah manusia atau orang, tugas-tugas atau program, dan struktur yang memungkinkan pencapaian tujuan dengan mudah. Unsur manusia adalah menyangkut perilaku individu yang dipengaruhi oleh tujuan atau harapan organisasi dan tujuan atau kebutuhan personal, keduanya harus sepadan atau terorganisasi secara terpadu. Administrator yang demokratis diharapkan dapat mengorganisasikan kedua kebutuhan tersebut, sikap dan perilaku demokratis merupakan cara terbaik untuk menghilangkan potensi negatifnya, dan mengunggulkan potensi positifnya.
Unsur program yang akan diorganisis meliputi program pengajaran, pelayanan siswa, hubungan masyarakat, rencana gedung, pengelolaan keuangan, kehadiran dan disiplin siswa, kegiatan siswa, pengadaan bahan ajaran, peningkatan pengajaran dan kurikulum, dan program pengajaran. Unsur struktur yang diorganisasikan adalah komponen jabatan, komite-komite, hubungan antar jabatan, dan hubungan antar komite sehingga dapat digambarkan dalam sebuah bagan organisasi.
Bagi administrator ada tiga alasan penting untuk mengetahui prinsip-prinsip dan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengorganisasian sekolah yaitu 1). Administrator diminta mengembangkan suatu rencana organisasi dalam situasi baru yang belum memiliki pola organisasi, 2). Dalam menjalankan sekolah administrator mengevaluasi atau memperbaiki struktur organisasi, dan 3). Administrator diminta mengevaluasi atau membuat rekomendasi suatu rencana atau struktur baru yang diusulkan. Evaluasi terhadap rencana yang diusulkan harus menemukan dan memahami prinsip-prinsip atas permasalahan organisasi sekolah secara mendasar oleh setiap administrator.
Sekolah diorganisasikan untuk memudahkan pencapaian tujuan belajar dan mengajar yang efektif dan efisien, dengan tujuan akhir mencapai tujuan-tujuan sekolah. Organisasi sekolah dimaksudkan untuk mencapai tujuan selengkapnya sesuai rencana masing-masing bagian, oleh karena itu perlu menyusun tujuan dengan baik program mata pelajaran yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran dengan landasan kurikulum. Gorton (1976) mengemukakan tanggungjawab kepala sekolah adalah mengorganisasikan orang-orang, tugas-tugas, dan layanan-layanan dalam suatu cara yang akan memudahkan pencapaian tujuan sekolah termasuk mengorganisasikan program-program yang ada.
Langkah-langkah untuk mengorganisasikan program sekolah adalah penentuan tugas-tugas, penentuan kebutuhan yang diperlukan dan parameter waktu, penentuan jabatan dan tanggungjawab, pemilihan personel dan penyerahan tanggungjawab, perincian hubungan-hubungan kewenangan, perincian hubungan-hubungan kepengawasan, perincian hubungan-hubungan komunikasi, mengidentifikasi kebutuhan akan koordinasi, dan pembuatan maupun penerapan kriteria penilaian.
Dalam mereorganisasikan administrator harus memperhatikan gejala organisasi yang kurang sehat dan memperbaiki rancangan organisasi (reorganisasi) yang ada dilakukan oleh administrator. Untuk mereorganisasi dilakukan dengan bekerjasama dengan orang yang penting di sekolah, administrator dan personel sekolah lainnya harus mencurahkan (pikiran, waktu, dan upaya macam-macam) dengan sejawatnya, administrator berinisiatif menilai dengan melibatkan orang lain, dan administrator bertanggungjawab atas terlaksananya semua saran-saran yang dipertimbangkan.

2. Tim Pengelola Sekolah
Komposisi tim pengelola sekolah tertuang dalam struktur organisasi yang bertujuan bagaimana tiap-tiap anggota tim berfungsi secara individual dan berhubungan dengan individu lainnya, menjalin hubungan antar anggota tim agar masing-masing mengetahui tanggungjawab, semua anggota tim dapat tolong menolong dan bekerjasama. Dalam menentukan struktur organisasi diperlukan ketua tim yang biasanya dipegang oleh kepala sekolah, karena kepala sekolah yang pertama diserahi tanggungjawab penuh mengelola sekolah dan merupakan orang yang paling bertanggungjawab melaksanakan program dan kegiatan persekolahan. Oleh karena itu kepala sekolah diharapkan mampu membangkitkan dan mempertinggi keterlibatan para anggota tim, berupaya mendorong dan membangkitkan semangat kerjasama antar anggota tim.
Gorton, Richart (1976) mengemukakan suatu tim administrasi akan berhasil melaksanakan tugasnya ialah apabila 1). Setiap anggota tim dapat menjalankan tanggungjawabnya secara efektif, 2). Adanya saling kerjasama diantara anggota tim, 3). Dalam proses anggota tim memiliki kesempatan untuk berinteraksi satu dengan yang lain, seperti dalam kegiatan diskusi dan pengambilan keputusan. Syarat-syarat keberhasilan suatu tim administrasi dapat berjalan diharapkan pertama, kepala sekolah dapat memahami dengan baik tentang peranan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh anggota timnya, dan Kedua, peranan dan fungsi wakil kepala sekolah dan fungsi unit lainnya dalam struktur organisasi difungsikan secara optimal sesuai bidang dan tanggungjawabnya.
Dimanapun ada kegiatan tim administrasi sekolah, yang telah dikembangkan dengan sistem pengorganisasian yang baik, seyogyanya harus dapat diukur seberapa jauh tingkat keberhasilannya. Untuk itu diperlukan standar atau kriteria yang digunakan dalam melakukan evaluasi. Ada sedikitnya kesangsian baha pendekatan tim administrasi adalah cukup potensial sebagai mekanisme yang dapat dinilai untuk memberikan fasilitas kerjasama antara administrator dan menggunakan dengan baik minat dan kemampuan dari masing-masing individu. Apakah potensi itu dapat direalisasikan atau tidak dalam praktek, akan sangat tergantung pada luasnya bagian atau tingkat penerapan konsep secara penuh dalam praktek, dan pada tingkat keterlibatan kerjasama antara anggota tim dalam semangat dari saling pengertian.

3. Pengelolaan Murid

Pengelolaan murid adalah proses pengurusan serta layanan dalam hal–hal yang berkaitan dengan murid satu sekolah mulai dari penerimaan murid baru, pembinaan selama murid berada di sekolah, sampai dengan murid menamatkan pendidikannya. Pengelolaan murid dilaksanakan melalui upaya menciptakan suasana yang kondusif untuk terjadinya proses belajar yang efektif. Tugas guru dan kepala sekolah adalah memberi layanan dengan memperlihatkan apa yang dibutuhkan, dirasakan dan dicita- citakan murid dalam batas kewenangan, keinginan dan peraturan serta ketentuan yang berlaku disekolah.
Pengelolaan murid merupakan bagian integral dari pelaksanaan strategi pendidikan dalam rangka memenuhi kebutuhan murid itu sendiri sesuai dengan perkembangan mental dan fisiknya untuk mencapi tujuan pengelolaan murid guru memegang peranan penting, oleh karena itu guru harus mempunyai bekal pengetahuan maupun pengalaman yang cukup mengelola murid disekolah.Beberapa kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pengelolaan murid adalah penerimaan murid baru,pembinaan murid, promosi dan mutasi,dan pemberhentian murid dari sekolah.
Tujuan utama program personel siswa memberikan fasilitas perkembangan individu secara maksimum melalui pendidikan. Tugas tata usaha, meliputi pengawasan perlengkapan fasilitas, bahan (materi), staf karyawan organisasi, kepemimpinan, serta pengelolaannya semuanya merupakan pendukung terhadap efektifitas proses belajar. Untuk melakssanakan tugas tersebut, personil pelayanan siswa harus : Pertama: dinamis dan berpengalaman memimpin dengan tanggungjawab atas seluruh kodinasi dalam membuat keputusan. Kedua: Administrasi personel siswa harus mengatur, pendekatan yang profesional dalam membuat keputusan Ketiga: Administrasi harus mengakomodasi penghargaan masyarakat, membantu perkembangan siswa secara maksimum.
Untuk memperkaya pengalaman dapat disimak laporan Hummel, Dean (1969) yang mengemukakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan sekolah–sekolah di Amerika dimana sebelumnya programnya telah ditentukan dan dirumuskan. Secara matang (baik) sebagai tujuannya yaitu untuk menjaga dan memelihara serta menjamin pertumbuhan dan perkembangan siswa, termasuk didalamnya adalah kesempatannya.
Pengajaran dikatakan lebih baik apabila semua program disekolah yang diberikan sebagai pengetahuan yang akurat dengan memperhatikan karakteristik siswa seperti : pengembangan potensi, status sosial latar belakang budaya, minat bakat serta ambisinya bentuk pengajaran yang dikembangkan di sekolah merupakan kegiatan yang dijabarkan dengan memperhatikan segala aspek kebutuhan siswa dalam mencapai pendidikan.
Pelayanan Bimbingan dan Penyuluhan sebagai fasilitas proses yang paling utama di sekolah Amerika, yang mendukung tujuan umum masysarakat dan tujuan dasar filsafat pendidikan dari sekolah. Penasehat dalam program bimbingan sekolah dikembangkan dan diselenggarakan dengan melakukan pendahuluan sbb :

1. Jumlah peneima penghormatan dan penghargaan setiap individu siswa, sebagai manusia
2. Penghargaan dari individu yang berbeda diantara seluruh anak.
3. Kebebasan untuk berlatih memilih bagi setiap individu.
4. Kepentingan masing – masing untuk mengembangkan kemampuannya secara maksimum.

Dalam kerangka kerja pegawai penasehat menyelesaikannya melalui (saling menolong) proses penasehatan. Bagaimapun, karakter yang unik, pengalaman, masalah–masalah yang bervariasi harus diambil dalam menghitung proses ini. Pertimbangan umum untuk proses bimbingan, Tata usaha yang efektif untuk program bimbingan sekolah :
a. Pelayanan program bimbingan harus dipimpin oleh penasehat sekolah yang cakap.
b. Setiap penasehat sekolah harus memiliki pengetahuan yang bervariasi karena fungsinya yang berhubungan dengan seluruh program sekolah
c. Garis komunikasi harus ditentukan antara penasehat sekolah yang cakap .
d. Tanggung jawab dan fungsi penasehat harus dibatasi dan dikomunikasakan dengan seluruh staf disekolah.
e. Garis kekuasaan dan hubungan staf harus ditentukan sebagai suatu rancangan untuk mengefisienkan program operasional.

Pengelola pelayanan personel siswa bertanggung jawab kepada pengawas sekolah secara umum tugasnya adalah membantu pengawas sekolah bertanggungjawab atas pengelolaan umum, mengelola dan mengkoordinasi serta mengawasi pelayanan bimbingan dan penyuluhan, pelayanan kejiwaan, pelayanan rekening dan kunjungan, pelayanan kesehatan, pendidikan khusus dan penelitian, kemudian membantu pengawas sekolah mengimplementasikan kebijakan, mengakui anak sebagai individu dan melengkapi secara optimal mental kesehatan yang baik.
Sebagai konselor sekolah, dapat mendukung kelancaan keoptimalan pelaksanaan pengajaran yang efektif, juga terhadap para siswanya sehingga para siswa merasa terlanyani dengan baik dan santun intinya selalu mengenakan tanpa ganjalan-ganjalan yang ,merintanginya. Program ini meliputi: keahlian/kemampuan, dan teknik-teknik tertentu sebagai suatu setting dalam mengembangkan keseimbangan dan kondisi personel dalam proses pelanyanannya harus berdasarkan beberapa teori secara alami dilembaga, antara lain :Pengertian dan perbedaan program sekolah, untuk menemukan dan merumuskan tentang keperluan siswanya.
1. Pembuatan perencanaan pengelompokan siswa untuk memberi kesempatan yang lebih baik dalam mencapai tujuan pendidikan.
2. Peningkatan kualitas pendidikan yang meliputi semua program.
3. Keberhasilan dalam pengelolaan sekolah yang secara efisien.
4. Mengembangkan wawasan/cakrawala berpikir siswa yang menghargai pemberian masing-masing

Disamping faktor-faktor tersebut diatas juga masih ada faktor-faktor lingkungan yang mendukung dan melengkapi semua program konselor terhadap siswa meliputi perkembangan teknologi moderen mesin-mesin industri yang otomatis, peningkatan mobilitas penduduk yang handal, penanganan terhadap perkembangan penduduk seperti status kehidupannya, dan penanggulangan terhadap kenakalan remaja.
Untuk mendukung tujuan pendidikan yang diharapkan, ternyata kelengkapan dan kesiapan mental staf yang profesional dalam pengembangan sistem sekolah yang bisa melanyani dengan berbagai macam informasi dan tekhnik-tekhnik yang cukup baik yang bisa bekerja sama dengan semua siswa serta pengorganisasiannya itu adalah mutlak suatu keharusan.
Sekolah merupakan suatu badan sosial yang utama di Amerika yang mengusahakan berlangsungnya mitos pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai institusi merupakan pengembang kehidupan sosial dalam mencapai praktik kehidupan siswa, orangtua guru, dan staf lainnya, anggota dewan sekolah sebagai penghimpun dalam mendukung pendidikan
Konsep pendidikan masyarakat di kembangkan di Amerika adalah dimulai dari rumah kerumah dimana guru datang kerumah yang akhirnya terbentuk suatu group pembelajaran disekolah untuk masyarakat. Pada tahun 1842, para penjajah menggunakan penemuan–penemuan bahwa semua anak harus belajar membaca, menulis dan harus mengetahui prinsip–prinsip agama, penemuan-penemuan ini akhirnya melahirkan konsep–konsep wajib belajar di Amerika. Kemudian masa chutts tahun 1647 mempelopori sekolah umum yang dapat membuahkan konsep–konsep pendidikan masysrakat bagi masyarakat Amerika. Sebagai prinsip–prinsip bimbingan temuan yang dikembangkan adalah :
1. Komite sekolah, bertugas melengkapi staf, menyelesaikan fungsi kepemimpinan pelayanan terhadap siswa ditingkat dewan, mengorganisasikan agar supaya pelanyanan dan koordinasi disetiap unit harus seimbang dalam sistem di sekolah
2. Semua staf dalam sistem sekolah harus memiliki pengetahuan umum dalammenghadapi anak dan hubungannya dengan perkembangan anak, serta pengembangan program pengajaran
3. Sebagai konselor fungsi utamanya mengidentifikasikan kaarakter dan kebutuhan siwa yang secara khusus bagi pendidikan siswa dapat mengambil program ilmiah melengkapi, pengalaman semua siswa
4. Sebagai konselor sekolah harus dapat mengkoordinasikan seluruh sumber seoptimal mungkin terhadap perkembangan siswa
5. Semua anggota staf tugas–tugas dan sasarannya serta seruluh garis tanggung jawabnya harus dikembangkan
6. Pengembangan dan evaluasinya harus terus menerus dikembangkan secara efektif
7. Organization, Administration and Leadership for pupil personil programs

Tentang pengorganisasian personel administrasi dan kepemimpinannya terhadap siswa disini dalam pengembangannya yaitu :
1. Perangkaian standar atau ukuran secara kompleksitas yang modren, program sekolah yang berarti mengantisipasi perubahan sosial ekonomi dan budaya yang cepat dalam urbanisasi masyarakat yang bertekhnologi mengakumulasi target yang cepat. Dan kemampuan membangun teknik yang hubungannya dengan prilaku pengetahuan
2. Meningkatkan profesionalisasi kepemimpinan dalam pendidikan yang bervariasi memberi dukungan yang cukup luas untuk melanyani siswa disekolah, direfleksikan dengan menggunakan keahlian dari keprofesian terus yang terlalui dalam prilaku pendidikan, sehimgga dapat menyelesaikan permasalahan–permasalahan dan memperingankan tata usaha yang memperkuat keefektifan proses pendidikan

Sebagai faktor–faktor yang memberi semangat koordinasi dari program pelayanan terhadap siswa yaitu intensifikasi terhadap pelatihan dalam setiap pelayanan, pengembangan program secara menyenyuluruh terhadap semua personel, yang kadang–kadang sering bingung serta pekerjaannya menyimpang dari tujuan, dan variasi sumber yang dapat mendukung keseimbangan program yang sedang berkembang.
Fungsi personel/guru terhadap pelayanan siswa meliputi personel sebagai pendukung dan penasehat harus memahami psikologi terutama psikologi pendidikan, sehingga benar benar mengetahui dan memahami hal hal yang berkaitan dengan pelanggaran norma-norma atau permasalahan siswa. Guru harus menjadi instruktur atau pemberi pengajaran secara khusus terhadap siswa. Guru juga harus berperan sebagai fasilitator yang mampu meberi fasilitas untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam suasana yang kondusif , dan harus menjadi dinamisator agar suasana belajar menjadi dinamis berkembang sesuai harapan kita.

profesi tenaga kependidikan

BAB III
PROFESIONALISASI TENAGA KEPENDIDIKAN



Lahirnya undang undang no 14 tahun 2005 tentang UU guru dan dosen membawa implikasi kepada profesi guru, lahirnya undang undang ini menuntut profesi guru dilaksanakan secara profesional. Profesi guru pada satu saat nanti diharapkan tidak lagi menjadi profesi yang dimarginalkan tetapi akan merupakan profesi yang punya kesetaraan dengan profesi lain yang sudah mapan yang diakui secara hukum dan sosial.
Profesi kependidikan dan guru sampai hari ini memang masih menjadi perdebatan panjang dikalangan para pakar maupun pemerhati pendidikan. Ada hal-hal yang penting diperhatiakan berkaitan dengan profesi guru yaitu ada anggapan bahwa profesi guru itu belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat bahkan pemerintah. Sekarang ini kelihatannya profesi guru masih dalam posisi yang kurang menguntungkan baik dari segi fasilitas, finansial maupun penghargaaan (regard) dari masyarakat Keberadaan ini diharapkan secara perlahan tapi pasti akan mengalami perubahan seiring disahkannya undang undang guru dan dosen
Kenyatan yang ada di lapangan masih banyak guru yang ditempatkan pada sebuah ruang yang penuh sesak dengan anak didik, dengan perlengkapan yang kurang mendukung dan manajerial yang kurang tepat. Ditempat dan kondisi yang demikianlah guru-guru diharapkan atau diberi tanggung jawab untuk mendidik anak-anak bangsa agar tumbuh lebih baik dan berkembang sebagai generasi penerus. Dalam keadaan demikian profesi guru selalu dalam posisi tersudut dan diklaim sebagai orang yang bertanggungjawab apabila anak didik kurang bermoral, kurang berbudaya dan sebagainya. Berbicara tentang profesi guru yang harus mampu menghasilkan output yang berkualitas, tidak adil rasanya kalau kita secara bersama tidak membicarakan tentang peran tri pusat pendidikan dimana orang tua dan masarakat juga turut andil menentukan kualitas yang bisa dihasilkan oleh sekolah.
Kualitas sekolah akan bisa baik kalau dibangun secara bersama, baik oleh orang tua sebagai pendidik pertama dan utama, kualitas pendidikan yang baik yang dilakukan orang tua di rumah akan berdampak positif pada lingkungan sekolah, begitu juga nilai dan norma yang ada dimasyarakat akan berpengaruh terhadap sikap setiap siswa
1. Konsep Profesi
Setiap masyarakat mempunyai fungsi tertentu untuk memperbaiki atau menangani masalah-masalah hidup yang agak berat. Tetapi setiap masyarakat berbeda dalam mengorganisir dan melaksanakan fungsinya. Seperti masyarakat moderen sekarang ini, telah cenderung mengadakan spesialisasi pekerjaan, mendirikan lembaga atau organisasi untuk memudahkan sistem pelayanan.
Dalam kehidupan masyarakat ditemukan berbagai kategori pekerjaan seperti tenaga profesional, semi profesional, para profesional, terampil dan tidak terampil, teknisi dan sebagainya. Setiap kategori pekerjaan berusaha memberi pelayanan kepada orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan sendiri maupun orang lain. Jadi perbedaan diantara tingkat pekerjaan tidak terletak pada elemen-elemen pelayanan tetapi pada sifat dan hakekat pelayanan itu sendiri yang berkembang sesuai dengan tuntutan hidup yang ada di masyarakat dan masyarakat membangun suatu kepercayaan terhadap profesi yang ada demikian halnya dengan bidang pendidikan dan pengajaran.
Kata “profesi” digunakan oleh ilmuan sosial sebagai suatu konsep kelimuan. Dengan pendefenisian yang hati-hati, profesi diartikan sebagai gambaran suatu yang abstrak dan secara objektif dapat mendeskrifsikan tingkatakan suatu panomena. Profesi merupakan alat verbal dimana para ilmuan sosial menempatkannya sebagai bagian yang spesifik dari suatu organisasi jabatan, dan lebih jauh sebagai alat analisis dan investigasi dalam organisasi, seperti halnya seorang ilmuan biologi mengunakan kata “karbon” atau “mamalia” untuk membedakannya dari bagian lain. Secara kongkirt tujuannya adalah ingin membedakan dan menempatkan profesi dengan beberapa bentuk organisasi pekerjaan yang ada di masyarakat.
Suatu “profesi” secara nyata merupakan type atau bentuk ideal dari suatu lebaga pekerjaan, seperti jabatan ahli hukum, dokter sebagai suatu jabatan yang sudah lama dikenal. Masih banyak bentuk-bentuk kelompok organisasi pekerjaan yang dibuat dengan ciri tertentu sebagai suatu profesi yang merupakan gambaran bahwa ada keinginan masing-masing kelompok untuk membuat yang lebih baik. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menganalisis dan mendeskripsikan karakteristik suatu lembaga pekerjaan dalam termonologi konsep “profesionalisasi”, dengan asumsi bahwa (walaupun tidak seluruhnya) pekerjaan dapat ditempatkan diantara dua kontinum yaitu “profesi” disatu sisi dan “bukan-profesi” di sisi lain. Artinya profesionalisasi adalah suatu proses yang mempengaruhi banyak hal sehingga pekerjaan menjadi lebih baik dan disebut sebagai profesi atau malah berkurang sehingga jauh dari pengertian profesi.
Persoalannya apa sebenarnya karakteristik ideal suatu profesi? Karakteristik apa yang harus dimiliki pekerjaan pengajaran agar menjadi profesionali? Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan jabatan pengajaran sehingga mampu mencapai status profesi penuh? Apa masalah pendidikan yang menentang kekurangan untuk menjadikan pengajaran menjadi profesi yang matang? Apa yang menyebabkan secara sosial masyarakat belum mengakui profesi guru sebagai suatu profesi. Dan apa langkah-langkah yang harus diambil sebagai pertanggungjawaban profesional untuk memenuhi tuntutan ini secara efektif?
Pertanyaan di atas mengarahkan perhatian pada kriteria status profesional pada satu sisi dan tanggung jawab profesi di sisi lain. Pembentukan karakteristik sebagaimana disebutkan dapat menjadikan beberapa jabatan itu dikatagorikan sebagai suatu profesi yang utuh, misalnya memiliki ciri tertentu dan memiliki basis keilmuan yang jelas.
Tanggungjawab profesional adalah tanggungjawab profesi kepada masyarakat dimana profesi itu dioperasikan dan dilayankan. Profesi itu adalah tanggungjawab profesional pada pekerjaan yang dalam aturan mainnya diatur dalam suatu kelompok atau wadah profesi, penerimaan tanggungjawab merupakan bagian dari bentuk perannya dalam masyarakat yang dibentuk oleh pekerja profesional itu sendiri. Sejauh mana pertanggungjawaban dapat diterima dan disetujui oleh masyarakat pada suatu tempat dan kurun waktu tertentu menjadi suatu ukuran terhadap kematangan profesi baik secara kelompok mapun dalam bentuk keanggotaan profesi secara pribadi.
Perbedaan antara karakteristik dan tanggungjawab memang selalu ada dalam kelompok profesi, walaupun itu tidak selamanya terlihat. Akan tetapi dikalangan penulis profesional cenderung memasukkan tanggungjawab merupakan karakteristik atau bagian dari definisi profesi. Lebih lanjut untuk memahami konsep-konsep profesi secara utuh perlu mengetahui apa itu pengertian profesi, hakekat profesi dan ciri-ciri profesi. Ketiga kategori ini merupakan bagian yang melekat pada suatu jenis profesi sehingga dia dapat disebut suatu profesi.



2. Pengertian Profesi
Dari pendapat Mc Cully (1969) diambil suatu pengertian bahwa di dalam suatu pekerjaan profesional dipergunakan teknik atau prosedur yang berlandaskan intelektualitas yang secara sengaja harus dipelajari kemudian secara langsung dapat diabdikan pada orang lian. Adanya landasan intelektualitas ini membedakan seorang yang profesional dengan teknisi, sebab defensisi di atas memberikan gambaran seorang profesional dalam melakukan pekerjaan dituntut memiliki filosofi yang mantap dan penuh pertimbangan rasional.
Dilihat dari ruang lingkup serta fungsi pekerja profesional sebagaimana yang disebut di atas memberi makna yang sama terhadap tenaga kependidikan atau guru. Sebab profesi guru dituntut juga memiliki accaountablity yaitu tanggung jawab terhadap keberhasilan dari lulusan suatu program pendidikan yang tidak hanya ditentukan oleh pengelola program tetapi juga oleh masyarakat pengguna.
Di samping defenisi di atas dari pendapat Edgar. juga dapat dimaknai bahwa “Profesi adalah satu set pekerjaan yang telah dikembangkan secara khusus sesuai dengan norma dalam mengarahkan peran-peran yang akan dilakukan di masyarakat”. Dan Diana W. Kommers mengatakan “ Profesi itu adalah seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh lewat pendidikan atau training dengan waktu yang panjang yang diasumsikan berorientasi pelayanan dan memiliki otonomi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “profesi” itu adalah suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi tinggi dalam menyikapi pekerjaan serta berorientasi pada pelayanan.
Hakekat pada dasarnya adalah hal yang membicarakan secara mendalam dan mendasar tentang sesuatu. Artinya bahwa apabila yang bersifat mendasar tadi tidak ada maka keesensian objek itu akan hilang. Demikian halnya dengan profesi maka hakekatnya adalah ”informend responsiveness” (sikap yang bijak sana) serta pelayanan/ pengabdian yang dilandasi oleh oleh keahlian, teknik dan prosedur yang mantap serta sikap kepribadian tertentu menunjukkan pekerja profesional selalu akan mengadakan pelayanan/pengabdian dilandasi kemampuan profesional serta falsafah yang mantap.
Dengan hakekat yang dimiliki maka seorang pekerja profesional akan menampakkan adanya keterampilan teknis yang didukung oleh sikap kepribadian tertentu karena dilandasi oleh pedoman-pedoman tingkah laku khusus (kode etik) yang mempersatukan mereka dalam satu korps.

3. Ciri-ciri Profesi
Menurut Robert. W. Richey (1974) cici-ciri sekaligus syarat dari suatu profesi adalah lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dari pada kepentingan pribadi, seorang pekerja profesional secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip pengetahuan khusus mendukung keahliannya, memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan, memiliki kode tetik yang mengatur (keanggotaan, tingkah lalu, sikap dan cara kerja, membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi, adanya organisasi yang dapat meningkatkan standard pelayanan maupun disiplin diri dalam profesi serta kesejahteraan anggotanya, memberikan kesempatan untuk (kemajuan, spesialisasi dan kemandirian), dan memandang profesi sebagai suatu karier hidup (a live carieer) dan menjadi seorang anggota parmanen.
Secara terperinci ciri keprofesian ini dikemukakan pula oleh D. Westby Gibson (1965) yaitu pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja profesi, memiliki sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik, diperlukan persiapan yang sistematis sebelum melaksanakan pekerjaan profesional, memiliki mekanisme untuk menyaring sehingga yang berkompeten saja diperbolehkan bekerja untuk lapangan tertentu, dan memiliki organisasi profesional untuk melindugi kepentingan kelompok anggotanya dari saingan kelompok luar dan berusaha meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Organisasi tenaga kependidikan dan guru yang ada belum sepenuhnya berfungsi sebagai mana organisasi profesi yang direkomendasikan Gibson dan Riche.
Mc Cully (1969) mengemukakan tahapan perkembangan yang harus ditempuh dalam suatu proses profesionalisasi yaitu: Macam layanan unik yang diberikan, standard kelompok profesi dalam lembaga pre service, pengakuan resmi terhadap program pre service memberi pengakuan resmi pada perseorangan yang dianggap telah memiliki tingkatan kompetensi minimal sebagai tenaga profesional, tanggung jawab profesional penuh terhadap segala aspek pelaksanaan tugasnya, dan kode etik kelompok profesional.
Mengacu pada tahap perkembangan yang harus ditempuh sebagaimana dikemukakan Mc Cully tersebut di atas maka Robert W. Rihe (1974) mengemukakan ciri-ciri profesionalisasi jabatan guru sebagai berikut guru bekerja hanya semata-mata memberi pelayanan kemanusiaan bukan usaha untuk kepentingan pribadi, guru secara hukum dituntut memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan lisensi mengajar serta persyaratan yang ketat untuk menjadi anggota profesi keguruan, guru dituntut memiliki pemahaman serta keterampilan yang tinggi, guru dalam organisasi profesional memiliki publikasi yang dapat melayani para guru sehingga tidak ketinggalan bahkan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi, guru selalu diusahakan mengikuti (kursus-kursus, workshop, seminar, kovensi dan terlibat secara luas dalam berbagai kegiatan in service), guru diakui sepenuhnya sebagai suatu karier hidup (a live crieer), dan guru memiliki nilai dan etika yang berfungsi secara nasional mapun secara lokal.
Walaupun tidak ada persetujuan yang komplit seperti apa sebenarnya substansi profesi yang harus disetujui, tetapi dapat ditemukan suatu rangkaian keterkaitan karakteristik di dalamnya bilamana seluruh komponen dan substansi profesi itu telah dikukuhkan secara penuh. Sebab pada dasarnya kelompok pekerjaan dalam menerima satu jabatan selalu ada seperangkat karakteristik yang ideal didalam fikirannya, sekaligus mereka membicarakan tanggungjawab profesi. Kelompok pekerja ini tidak berfikiran tentang kebenaran suatu profesi, tetapi memiliki satu set karakteristik ketika mereka mencoba mengklaim bahwa dia adalah profesional untuk dirinya sendiri.
Tanggapan terhadap pemahaman profesi yang ideal ini merupakan satu set ide tentang jenis pekerjaan yang dilakukan dengan profesi riel hubungannya dengan kelompok pada profesi lain, hubungan internalnya dengan kelompok sendiri, kemudian hubungannya dengan klien dan masyarakat umum, karakter dari motivasi kelompok dan jenis dari penerimaan dan training sesuai kebutuhan pelatihan yang diikutinya. Karakteristik ini memiliki keterkaitan yang penting. Jenis pekerjaan ditentukan dari hubungan kelompok profesi dengan orang dan group lain, dan ini kembali membutuhkan jenis rekruitmen dan latihan. Maksudnya bukanlah mengatakan bahwa keterkaitan fakta ini adalah benar, tetapi lebih jauh bahwa kedua kelompok yaitu orang profesi dan orang awam (layman) percaya bahwa mereka harus membuat suatu pemahaman yang jelas jika pekerjaan itu adalah profesi yang riel.
Suatu profesi biasanya difahami sebagai suatu pekerjaan milik seseorang dan hanya diketahui oleh dirinya sendiri bahwa ia memiliki pengetahuan teoritik yang bagus yang secara esensial mensukseskan penampilannya untuk tugas profesional yang tidak dapat diperoleh secara singkat. Definisi inilah yang membedakan antara seorang profesional dan perajin.
Jika seorang perajin ingin menjadi terampil dia harus belajar dengan magang dengan basis keilmuan yang telah terorganisasi secara internal dengan sistem yang konsisten, basis keilmuan yang dimiliki ini memiliki prinsip yang abstrak yang diperoleh dari metode ilmiah dan logika analisis, hal ini tidak dapat diaplikasikan secara rutin tetapi diaplikasikan menurut keinginan dan aturan terhadap kasus-kasus pada yang lain. Pengaplikasiannya memiliki beberapa konsekwensi. Pertama, membutuhkan training yang panjang untuk mendukung basis keilmuwan sebab itu tidak dapat diperoleh dengan waktu yang singkat. Kedua, harus didukung oleh mental yang kuat. Dan ketiga, semua kegiatan itu harus terkontrol.
Potret profesi yang ideal ditunjukkan pada suatu kelompok yang mementingkan kepentingan orang lain, dan aktif dibentuk dengan suatu kode etik dengan penekanan pada pelayanan yang baik untuk klien sebagai tujuan profesional kelompoknya, jangan diartikan bahwa kelompok profesi tidak akan konsern dengan financial reward (penghargaan dengan uang) tetapi uang bukanlah tujuan utama. Meski finansial penting untuk menunjang fungsi perilaku profesi, tetapi profesi menekankan pada tugas sosial yang didalamnya termasuk pertimbangan moneter atau mahalnya harga-harga barang. Kebutuhan sosial untuk pelayanannya diakui oleh kelompok itu sendiri sebagai peningkatan obligasi (kewajiban) pada masyarakat untuk menarik perhatian terhadap kelompok dari kliennya. Oleh sebab itu definisi profesi secara eksplisit didalamnya ada fungsi dan etika dalam arti bahwa kode etik sebagai mandat untuk mendapat pengakuan sebagai anggota profesi, sementara klien (pelanggan) mendapat pelayanan yang tepat oleh profesional hasilnya sesuai dengan yang diinginkan.
Para profesional sering mengkalim dan setuju bahwa mereka memiliki otonomi dan tanggungjawab didalam pekerjaannya, mereka memiliki pertimbangan dan menegakkan asumsi seberapa bagus pekerjaan mereka. Tetapi lain halnya dengan orang awam atau diluarnya yang membuat pertimbangan tersendiri tentang apa yang mereka lakukan tanpa mempertimbangkan kualitas suatu pekerjaan. Tugas profesional selalu lebih dari suatu teknik aplikasi mekanikal, persoalannya bukan pada sebaik apa dia berfikir, tetapi sebaik apa dia dapat melakukan pekerjaan.
Oleh sebab itu profesional harus melakukan dua hal yaitu: pertimbangan kebijakan yang luas dan penuh pertimbangan inteligen dalam menentukan apa yang harus dilakukan. Inilah merupakan image untuk menjustifikasi profesional sebagai harapan untuk membuat profesi itu menjadi otonomi dan pelanggannya mengharap untuk meningkatkan pertimbangan dan tanggungjawab yang semua itu sebenarnya ada ditangan orang profesional. Artinya pekerja profesional bukan berada dibawah yang lain tetapi bekerja dengan orang lain sebagai anggota kelompok bekerjasama secara tim. Atau dengan kata lain profesi adalah tergantung bagaimana fungsi profesi itu dilakukan dan dibentuk. Kedua, profesi yang benar dikarakteristiki oleh munculnya organisasi profesi yang kuat yang memfasilitasi secara penuh apa yang menjadi karakteristiknya sendiri.

4. Guru Sebagai Suatu Profesi
Masih ditemukan di banyak tempat bahwa keberadaan guru pada situasi yang kurang menguntungkan, banyak guru ditempatkan dalam ruang yang penuh sesak dengan subjek didik yang melebihi standard dan perlengkapan yang kurang sesuai, serta dukungan manajerial yang kurang up to date. Kondisi demikian guru diharapkan melaksanakan tugas mulia mendidik generasi muda, di sisi lain guru dihadapkan dengan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi dengan dukungan fasilitas yang minimal serta iklim kerja yang tidak menyenangkan.
Grup pengajaran dibagi dalam dua segmen yaitu secara vertikal dan horizon. Vertikal terdiri dari sekolah dasar, SLTP dan SLA, ditambah struktur supervisor, konsultan, peneliti, dan administrator. Secara horizontal, dasar pengjaran dibagi dalam kelompok spesialisasi dalam presentasi pokok masalah departemen yang didukung (ditambah) oleh sejumlah spesialisasi pekerja pendidikan. Spesialisasi menunjukkan banyak mendukung pembagian tugas dan fungsi. Di sisi lain fakta menunjukkan bahwa profesi pengajaran telah dihargai termasuk seluruh pekerja di lapangan pendidikan walaupun secara tidak langsung mereka dipekerjakan pada tugas pengajaran dalam kelas. Artinya bahwa perbedaan-perbedaan fungsi yang ada dalam lapangan pendidikan telah berkembang tanpa mengunggulkan pengajaran dan merendahkan yang lain.
Guru sekolah umum dapat mengatakan bahwa selayaknya ada dua peran yakni; peran sebagai seorang guru yang secara khusus berada dalam kelas dan peran seseorang yang berada di luar kelas. Untuk peran yang pertama memiliki fungsi sebagaimana di deskripsikan Komite Pendidikan Guru di California dalam tiga bagian yaitu Direktur Pembelajaran merupakan peran yang lebih luas memiliki tanggungjawab untuk merencanakan, dan mengevaluasi Aktivitas Pengajaran, Konselor dan Pembimbing Pekerja, dan Mediator budaya.
Sementara untuk peran kedua yaitu peran seorang guru yang berada di luar Kelas, menurut komite terdiri dari 3 bagian yaitu Guru diluar kelas menjadi kelompok sekolah dan masyarakat, Guru sebagai penghubung antara sekolah dengan masyarakat, dan Guru menjadi kelompok anggota profesi. Pendidikan yang baik sebagaimana yang diharapkan masyarakat moderen dewasa ini dan sifatnya yang selalu menantang, mengharuskan tenaga kependidikan dan guru yang berkualitas dan profesional, karena masyarakat memerlukan pemimpin yang baik sebagai produk dari pendidikan.
Winarno Surachmat (1973) mengemukakan bahwa sebuah profesi dalam arti yang umum adalah bidang pekerjaan dan pengabdian tertentu, karena hakekat dan sifatnya membutuhkan persyaratan dasar keterampilan teknis dan keperibadian tertentu. Dalam bentuknya yang moderen profesi ditandai oleh adanya pedoman-pdoman tingkah laku yang khusus mempersatukan mereka yang tergolong di dalamnya sebagai suatu korps ditinjau dari pembinaan etik jabatan.
Profesionalisasi guru belum selesai dengan hanya memberikannya lisensi mengajar setelah mereka berhasil menamatkan pendidikannya, hal yang demikian baru aspek formal karena kualifikasi formil ini masih perlu dijiwai dengan kualifikasi ril yang hanya mungkin diwujudkan dalam praktek yang menunjukkan keterampilan teknik serta didukung sikap kepribadian yang mantap. Guru yang profesional harus memiliki: 1) kompetensi profesional, 2) kompetensi personal, 3) kompetensi sosial, dan 4) kemauan memberikan pelayanan.
Apabila seorang guru telah memiliki kompetensi tersebut maka (menurut Winarno) guru telah memiliki hak profesional sebab secara nyata telah mendapat pengakuan dan perlakuan hukum, memiliki kebebasan untuk mengambil langkah-langkah interaksi edukatif, memikmati kepemimpinan teknis, menerima perlindungan dan penghargaan yang wajar, dan mengembangkan kebebasan kompetensi profesioanl secara individual maupun institusional. Guru sebagai suatu profesi melaksanakan tugasnya dilandasi atas panggilan hati nurani, ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang bertumpu pada pengabdian dan sikap keperibadian yang mulia. Pada hakekatnya tugas guru tidak saja diperlukan sebagai suatu tugas profesional, tetapi juga sebagai tugas profesi utama menyiapkan tenaga pembangunan nasional.
Guru memiliki kemampuan dasar dan ketrampilan yang terkait penting untuk aktifitas pengajaran, dia memperbaiki dirinya untuk membuat pertimbangan kapasitasnya sebagai seorang guru untuk membuat tindakan-tindakan yang tepat dan penting. Dia bertanggungjawab atas konsekwensi dari pertimbangan dan tindakannya, dia juga bertanggungjawab melakukan fungsi pentingnya melayani masyarakat, dia bekerja dengan koleganya untuk mengembangkan standar sebagai basis kelanjutan profesinya, kemudian profesi itu diorganisasi secara baik untuk menemukan dan mempertanggungjawabkan profesinya dalam proses yang sistematik dan banyak lagi hal-hal lain yang dikerjakan seorang guru untuk menunjang keprofesionalannya.
Walaupun jabatan pengajaran harus memiliki tingkatan yang tinggi, kualitas yang mengidentifikasi profesinya, pengajaran juga harus memiliki suatu cara untuk mencapai status profesi yang sempurna. Jika jabatan pengajaran ingin menyelidiki potensinya secara penuh sebagai suatu profesi, dia harus berkualifikasi bagus, kapabel, guru yang berdedikasi, dan ini kemudian mencapai status dan prestise yang sebanding dengan profesi lain seperti hukum dan dokter. Berikut ini Burrup memberikan alasan mengapa hal itu belum dicapai:
1. Syarat untuk mendapatkan sertifikat guru terlalu rendah
2. Masyarakat tidak memberikan penghargaan yang tinggi bagi profesi guru
3. Rendahnya gaji guru
4. Guru sering dilakukan sebagai batu loncatan untuk pekerjaan lain
5. Ketaatan pada kode etik belum begitu ketat, masing cenderung bersifat individu dan beberda-beda pada masing-masing daerah
6. Guru lebih tertarik agar dikenal dengan membentuk apliasi dari pada organisasi profesi.

Untuk menjadikan profesi pengajaran sebagai profesi yang mapan membutuhkan jenis-jenis karakteristik yang tepat dan untuk menuju iyu membuthkan waktu dan proses. Oleh karena profesi ini masih dalam proses pengembangan jangan sampai menjadi takterstruktur dan kehilangan dfenisi. Hal serupa ini juga pada dasarnya dialami oleh profesi lain, namun fakta menunjukkan bahwa ada beberapa penghalang yang serius bagi profesi pengajaran untuk mencapai status yang lebih mapan.
Pada dasarnya profesi pengajaran bukanlah suatu defenisi profesi yang tunggal; ia meliputi perbedaan fungsi dan aturan. Walaupun memiliki perbedaan fungsi atau tanggungjawab spesialisasi grup dari pendidikan, mereka semua diasumsikan memeiliki kebiasaan tersendiri, setuju atau tertarik sesama kelompok, biasanya hanya menghargai sesama kelompok profesi, kondisi ini merupakan hamabatan serius pengembangan profesi. Lieberman mengatakan “ Kecenderungan menghargai seluruh guru sebagai suatu kelompok profesi yang sama hanya suatu kata yang membingungkan, dan merendakan kualitas pendidikan dan malah meniadakan pengembangan kekutan profesi.
Dengan jelas, bahwa perbedaan dari fungsi atau tanggungjawab adalah tepat disebut untuk perbedaan di dalam program training. Kondisi ini memang telah menhalangi pengembangan program konsep umum profesi tugas kependidikan yang sebenarnya hal ini sangat penting untuk pengembangan kesatuan profesinal kependidikan. Kesatuan profesi biasaya didasarkan kepada; tujuan umum, keinginan serta nilai yang umum serta tradisi intelektual msyarakat.
Ketiga penghalang di atas membuat profesi pengajaran menjadi memiliki kekurangan dalam otonomi profesi. Stanley mengatakan “Sesungguhnya telah mendesak partisipasi berbagai pihak untuk menentukan urusan pendidikan. Masyarakat tentu saja, memiliki kekuatan untuk mengontrol pendidikan khususnya dalam pengalokasian dana, di dalam dewan (board) didefenisikan bahwa sekolah merupakan pelayanan. Tetapi dalam kenyataanya masalah pendidikan tak seorang pun yang menerima sebagai profesi yang ideal dapat mendukung secara partisipan atau campurtangan orang lain”.
Hal senanda juga dikatakan Stinnet bahwa “untuk mencapai status profesional untuk pengajaran perlu otonomi profesional. Dan otonomi profesional ini terjadi jika telah memiliki struktur dan karakteristik yang baku, tentang standar yang mampu memberitekanan dalam mengarahkan, skrining, perbaikan, dan akreditasi, memberi perlindungann penegakan disiplin baik etik maupun aturan. Dengan kata lain bahwa otonomi profesi pendidikan itu adalah dikontrol oleh standar profesi dengan asumsi bahwa semua itu memiliki kompetensi yang bertanggung jawab dan garansi kelompok”.
Akhirnya sebagaimana dikatakan oleh Lieberman bahwa kegagalan organisasi guru bukan pada pemebentukan opini masyarakat, tetapi pada sikap guru dan kegagalan kepemimpinan. Dan yang lebih urgen lagi bahwa pendidikan kadang menjadi komoditi politik dan selalu dibawah tekanan. Oleh sebab itu guru membutuhkan perlindungan akademik untuk menjaga proses pengajaran dan hal lain yang berkaitan dengan mutu tanpa terganggung oleh tekanan lain. Jika guru lemah guru tidak akan mampu melindungi diri dari image dan hal-kal lain yang negatif dari masyarakat.
Dari uraian di atas menunjukkan di pundak guru terdapat beban yang berat dan menantang, karena tugas guru menyampaikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat, sementara daya dukung dan kemampuan masih amat terbatas.

5. Faktor-Faktor Profesionalisasi Jabatan Guru
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jabatan guru sebagai suatu profesi adalah acountablity program pendidikan tenaga kependidikan, pendekatan kompetensi, integrasi isi metode serta teori praktek dalam pelaksanaan program pendidikan, kode etik organisasi profesional, periode “in service”, dan organisasi profesional.
Sebagaimana yang lain pengajaran juga memiliki karakteristik seperti cara, keterampilan, dan ilmu sebagai basisnya. Bagi orang yang ingin mengklasifikasikan pengajaran sebagai suatu peran atau cara maka akan memperjelas fakta bahwa ferformansi guru mungkin akan lebih baik serta sebagai suatu usaha membantu kolega dengan cara yang sama dari segi peningkayan inteligence dan sekaligus sebagai perbaikan pengajaran. Pengajaran adalah suatu cara, dikatakan demikian sebab guru memang harus mengunakan keterampilan kuhus dengan penuh variasi dalam mengajar yang diadopsi dari berbagai teknik yang ada untuk kebutuhan anak didik, dalam situasi khusus yang kesemuanya merupakan karakteristik formal guru.
Keahlian itu dibutuhkan bagi seorang guru yang memiliki kompetensi sebagai modal pengajaran untuk diberikan pada orang lain, serta sebagai suatu ukuran kualitas di lapangan. Fakta membuktikan bahwa keahlian hanya dapat diperoleh lewat latihan khusus di dalam kondisi yang nyata, dan lebih baik lagi apabila dilakukan dibawah pengawasan, serta terdorong niat untuk memiliki keterampilan. Biasanya klasifikasi untuk menjadi seorang tenaga pengajar yang baik diperoleh dengan mengimplikasikan lewat rancangan program perbaikan atau latihan magang dan teknik rule-of-the tumb.
Dalam pengajaran telah ada “tes dan pengkuran” dan telah dikembangkan lebih dari tiga dekade yang lalu tepatnya sejak ilmu pendidikan ada. Pada saat itu beberapa metode ilmiah telah digunakan dalam pengajaran dengan bernagai pertanyaan. Diakui memang banyak persoalan-persoalan dalam pendidikan membutuhkan metode ilmiah dalam proses penyelesaiannya. Dengan keberadaan ilmu-ilmu saat ini secara aktraktif ikut mendukung dalam menenpatkan pendidikan pada posisi yang lebih baik, seperti halnya psikologi, sosiologi, dan antropologi kelompok ilmu-ilmu behavioral lainya. Ilmu-ilmu ini dengan cara yang berkesinambungan membuat pendidik secara tepat dan objektif menjadi dapat diterima dan diakui serta bahwa metode ilmiah merupakan basis dalam kemajuan dan perkembangan ilmu pendidikan itu sendiri.
Dengan demikian keunggulan klasifikasi profesi menjadi penting pada sebuah karakteristik pengajaran dengan arti bahwa fungsionalisasi saja tidaklah memadai tetapi harus memiliki karakteristik yang tepat. Tampaknya kecendrungan pengajaran merupakan jabatan (vocation) dan ini terjadi ketika melihat cici-ciri profesi yang lain dengan karakteristiknya masing-masing. Karakteristik dan tanggung jawab merupakan hal yang signifikan dan kategori yang perlu dikajikembangkan. Alasannya kareakteristik yang ada telah cukup dan cenderung mendukung dan menegaskan bahwa pengajaran adalah suatu “profesi”, yang telah berkembang secara sadar profesi pengajaran termasuk didalamnya, guru, administrator, supervisor, dan pimpinan organisasi.

6. Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru
Pembinaan dan pengembangan profesi guru berarti meningkatkan kualitas dan peningkatan pelayanan, dalam pembinaan dam pengembangan karier tenaga profesinal kependidikan khususnya guru nampaknya masih memerlukan pemikiran serta pengkajian lebih lanjut. T. Raka Joni (1977) mengemukakan bahwa sistem pembinaan karier harus memungkinkan tenaga profesional dengan kualifikasi yang paling tinggi pada semua tingkatan dalam sistem dengan memperoleh imbalan sesuai kualitas layanan yang bisa mereka berikan. Seperti halnya pembinaan karier di perguruan tinggi, bahwa sistem imbalan yang dipakai mencerminkan kualitas layanan yang mampu diberikan.